Senin, 24 Oktober 2011

e-Voting handbook | Key steps in the implementation of e-enabled elections


Council of Europe Publishing

The author of this document is Susanne Caarls.

This paper does not set out to argue either for or against the introduction of e-voting; it is designed to provide assistance and guidance to those who are considering introducing it.

For a free copy of e-Voting Handbook and presentation/demonstration of the e-Voting Technology, please contact Julian Chong at +6287775347865
 
Buku Pedoman e-Voting|Langkah-langkah inti dalam implementasi e-pemilu
 
Dewan Penerbitan Eropa 
 
Penulis dokumen ini adalah Susanne Caarls.
 
Makalah ini bukan untuk berdebat baik untuk atau melawan pengenalan e-voting, melainkan dirancang untuk memberikan bantuan dan bimbingan kepada pemerintah yang sedang mempertimbangkan memperkenalkan itu.
 
Untuk salinan gratis e-Voting Buku dan presentasi / demonstrasi Teknologi e-Voting, silahkan hubungi Julian Chong di +6287775347865
 

Teknologi Informasi Untuk Pemilu dan Konsolidasi Demokrasi

14Oct2011

Filed under: e-Democracy, e-Government

Author: Hemat Dwi Nuryanto

Majalah Tematika, Edisi 07, September-Oktober 2011

Idealnya Pemilu 2014 bagi Bangsa Indonesia merupakan konsolidasi demokrasi secara baik. Pelaksanaan Undang Undang Penyelenggara Pemilu sangat ditentukan oleh postur komisioner pemilu. Sehingga penyelengara Pemilu harus mampu melakukan pemilu yang murah, efektif dan bebas dari politik uang dalam modus terkini. Definisi murah adalah menyangkut  biaya penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah (Pilkada) maupun biaya yang harus dikeluarkan oleh para kandidat.  Definisi efektif adalah mampu melakukan tahapan pemilu secara efektif karena berbasis iptek. Untuk menuju efektifitas Pemilu para komisioner sebaiknya memahami betul manajemen dan teknologi Pemilu yang diselenggarakan oleh negara lain lalu bisa mereduksi secara ilmiah kasus-kasus sengketa Pemilu yang pernah terjadi di negeri ini. Sedangkan definisi bebas dari politik uang dalam modus terkini adalah terkait dengan pencegahaan kampanye biaya tinggi. Karena kampanye biaya tinggi mengakibatkan ekosistem demokrasi dikuasai oleh pemodal besar dan tersingkirnya kandidat yang bermutu.

Kasus-kasus yang mencuat terkait dengan perilaku komisioner yang bersifat oportunis yang mencederai independensi lembaga serta adanya indikasi sepak terjang mafia pemilu sebaiknya diatasi dengan memperbarui sistem rekrutmen ketua dan anggota KPU. Pentingnya membentuk postur komisioner pemilu yang memiliki integritas yang baik dan benar-benar menguasai manajemen dan teknologi Pemilu terkini. Sebagai sebuah lembaga yang menjalankan prosedur dan ketentuan teknis pemilu, maka peran komisioner sangat strategis. Oleh karena itu proses seleksi calon komisioner sebaiknya menekankan kepada kemampuan untuk mewujudkan pemilu yang murah, efektif, dan bisa mewujudkan ekosistem demokrasi minus kampanye biaya tinggi.

Penguasaan dan pemahanan trend teknologi pemilu terkini merupakan keniscayaan bagi para komisioner pemilu. Semangat jaman menunjukkan pentingnya pemilu elektronik yang sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah membuka ruang diselenggarakannya e-Voting. Namun begitu, kita jangan latah menggunakan e-Voting tanpa kajian yang mendalam oleh pihak yang benar-benar memiliki kompetensi dan pengalaman. Harus dikaji secara seksama bentuk e-Voting seperti apa yang paling cocok dan menguntungkan bagi negeri ini. Tentu saja hal ini membutuhkan visi dan wawasan tersendiri bagi anggota komisioner pemilu. Proses penerapan teknologi pemilu tidak bisa instan atau impor begitu saja, tetapi harus melalui pengembangan dan evaluasi yang mendalam secara akademis dan lapangan.

Teknologi Pemilu akan diwarnai oleh Sistem Informasi. Apalagi pada Pemilu 2014 nanti terkait dengan eksistensi e-KTP sebagai basis data pemilih yang dibangun dengan anggaran APBN Rp 6,7 Trilyun dan sebagainya. Sehingga para komisioner harus menguasai dan memahami signifikansi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan ) terkait dengan Pemilu serta potensi persoalan yang akan timbul. Bagaimanapun juga, proses demokrasi mustahil dilangsungkan secara ideal tanpa melibatkan TIK. Keterlibatan TIK dalam pemilu dikategorikan menjadi tiga hal, yakni sebagai tools, enabler, dan transformer. Keterlibatan sebagai tools adalah berperan sebagai pendukung jalannya organisasi penyelenggara pemilu dan komputerisasi dari back office. Disini  TIK masih merupakan pelengkap dalam tahapan Pemilu. Sedangkan sebagai enabler terwujud jika TIK sudah menjadi penggerak tahapan Pemilu serta membuahkan efisiensi yang signifikan bagi organisasi penyelenggara Pemilu. Sedangkan TIK sebagai transformer yaitu sebagai penentu arah transformasi organisasi penyelenggara pemilu menuju efektivitas pemilu, reduksi biaya dan waktu secara signifikan dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses (process re-engineering).  Mudah-mudahan pada Pemilu yang akan datang terjadi proses transformer, dimana pemungutan suara sudah bisa dilakukan dengan prinsip otomatisasi, rekayasa ulang proses, dan penerapan sistem informasi Pemilu (Sipemilu) yang dedicated hasil rekayasa anak bangsa sendiri. Bila perlu menggunakan mesin e-Voting generasi baru yang memenuhi kriteria verifiability dan auditability.

Pada dasarnya e-Voting berpeluang meningkatkan kualitas pemilu dan bisa menghemat biaya pemilu hingga Rp 10 triliun. Ada tiga jenis atau sistem e-Voting yang telah dikaji dan dan dikembangkan oleh lembaga e-Democracy & Governance Institute yang pengembangannya didukung melalui Grant Ristek. Yaitu sistem CCOS (Central Count Optical Scanning), system PCOS (Presinct Count Optical Scanning), dan DRE (Direct Record E-Voting). Sistem tersebut memiliki dampak atau implikasi terhadap QCD (Quality, Cost, & Delivery) Pemilu yang berbeda-beda. Penerapan Sistem Informasi Pemilu (SIPEMILU = e-Election atau e-Demokrasi) yang mengacu pada GDSI (Grand Design Sistem Informasi Pemilu) merupakan prasyarat jika menerapkan e-Voting. Kita bisa menganalogikan sebuah Bank mau implementasi delivery channel via mesin ATM maka ada ketentuan bahwa Core Banking-nya harus bagus terlebih dahulu. Bisa dianalogikan bahwa Mesin ATM sama dengan mesin e-Voting, dan Core Banking System sama dengan SIPEMILU atau e-Election atau e-Demokrasi. Jangan sampai terjadi sesat pikir, selama ini ada anggapan bahwa keberhasilan e-Voting untuk Pemilihan Lurah atau Pilkada serta merta dijadikan justifikasi untuk menerapkannya pada pemilu nasional.

Sesat pikir tersebut harus dicegah, karena kompleksitas dan resiko antara pemilu nasional dengan pemilu daerah sangat jauh berbeda. Dari kajian lembaga e-Democracy & Governance Institute bahwa pemilu di Philipina dan teknologi yang dipakai menunjukkan bahwa kompleksitas deployment sistem di Indonesia kira-kira  lima kali dari Philiphina ditambah jumlah partai dan calon per partai kita jauh lebih banyak. Philipina menerapkan e-Voting sistem PCOS, dimana suara langsung dihitung di mesin counting di TPS lalu dikirim ke Pusat Data. Sementara rekomendasi dari lembaga e-Democracy & Governance Institute suara dihitung di mesin counting di PPK/Kecamatan untuk pemilu nasional dan di PPS/Kelurahan atau Desa untuk pemilu kepala daerah. Dasar teknologi untuk counting adalah sama yaitu : Marking Technology. Namun Deployment model PCOS tersebut, membutuhkan perangkat yang jumlahnya sama dengan jumlah TPS (hingga 500 ribu mesin PCOS), sedangkan pilihan model CCOS untuk deployment di Indonesia membutuhkan hanya 8.000-an mesin CCOS (penghitungan suara pakai mesin dilakukan di PPK/Kecamatan, dan penghitungan bisa pada level paper ballot/surat-suara).

Dengan kualitas demokrasi yg terjaga dan kecepatan penghitungan yang setara, maka penghitungan suara di Indonesia (170 Juta Pemilih dan 500 Ribu TPS) bisa lebih murah hingga 1/4 -nya biaya yang dikeluarkan Philipina (50 Juta Pemilih dan 80 Ribu TPS). Mengingat bahwa teknologi mereka (Hardware dan Software) disewa murni dari Smartmatics (US & Europe). Mestinya kita bisa jauh lebih murah lagi karena Election Managemen Software dan Marking Technology sudah di miliki oleh bangsa kita.  Kerjasama Pengembang Teknologi & Operator Dalam Negri terkait e-Democracy berpeluang memajukan demokrasi di tanah air. Dan Technology (terutama software) serta Human Capital kita juga dapat di ekpor ke negara-negara lain untuk memajukan demokrasi dunia dengan pendekatan menggratiskan teknologi dan hanya membayar service (konsultan). Dengan demikian Indonesia berpotensi mengirim SDM yang high skill & technology untuk memajukan Pemilu ke negara lain.

Sistem informasi pemilu bisa dianalogikan seperti neurotransmiter atau sel saraf otak yang bisa meneguhkan sistem Pemilu. Sistem tersebut tidak sekedar kalkulator pemilu, tetapi mampu menampung informasi, mengolah, menyalurkan dan memverifikasi proses pemungutan suara. Sehingga kompleksitas Pemilu sejak tingkatan TPS hingga nasional bisa teratasi dengan baik. Neurotransmiter itu bekerja untuk mewujudkan Sistem Informasi Pemilu yang pada prinsipnya terbagi dalam empat Subsistem Informasi. Pertama, subsistem informasi Pemilu untuk mengelola proses pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Kedua, subsistem Informasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, Subsistem Informasi Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Keempat, Subsistem Informasi Pendukung Pemilu. Merupakan kumpulan dari aplikasi pendukung administrasi perkantoran dan juga aplikasi yang berkaitan dengan proses koordinasi, komunikasi, kooperasi dan kolaborasi antar berbagai stakeholder di dalam KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota sehingga terjadi suatu jalinan kerja yang sangat efektif.

*) Chairman e-Democracy & Governance Insitute & Chairman Zamrud Technology, Alumnus UPS Toulouse Prancis
*Untuk presentasi / demonstrasi Teknologi e-Voting berasas Luber Jurdil dari Smartmatic, silahkan hubungi Julian Chong di +6287775347865

Minggu, 16 Oktober 2011

Visi e-Voting untuk Rakyat Indonesia di Pemilu 2014

Pendahuluan

Pemungutan suara elektronik iaitu e-Voting sekarang adalah kenyataan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak pemerintah dan juga untuk pemilu terakhir di Indonesia sudah mulai mengadopsi komputer yang didukung aplikasi untuk proses administrasi mereka; aplikasi berkisar dari yang sederhana download formulir untuk internet berbasis pengajuan aplikasi.


Keinginan untuk menerapkan prosedur voting elektronik banyak unsur ragamnya, antara yang paling penting adalah sebagai tercantum dalam Dewan Uni-Eropa 2004 rekomendasi untuk pemungutan suara elektronik:
  1. memungkinkan mobilitas pemilih
  2. memfasilitasi partisipasi dalam pemilihan umum dari luar negeri
  3. meningkatkan partisipasi pemilih dengan menawarkan berbagai cara tambahan
  4. perluasan akses bagi warga negara penyandang cacat
  5. mengurangi biaya
  6. memberikan hasil pemungutan suara andal dan lebih cepat

Di mana nomor 1-4 adalah manfaat bagi warga negara dalam kenyamanan lapangan dan partisipasi dan nomor 5-6 adalah manfaat bagi administrator dalam proses alur kerja bidang dan biaya. 

Pemilihan akurat dan dapat dipercaya merupakan komponen penting dari demokrasi yang efektif bagi Indonesia. Ia memberikan kunci yang paling penting dalam komponen demokrasi : iaitu kepercayaan publik dalam proses. Baik dari niat jahat atau kesalahan yang tidak sengaja, ia dapat mempengaruhi hasil pemilu, maka dasar dari sistem pemerintahan kita beresiko.


Pemungutan suara elektronik tidak hanya berfungsi sebagai bantuan dalam penghitungan suara, sekarang mereka mendukung semua tiga proses voting utama:
  1. Pra-Pemilu Tahap: Identifikasi pemilih, memeriksa kelayakan 
  2. Pemilu Tahap: Casting suara
  3. Pasca-Pemilu Tahap: Penghitungan suara




Sampai saat ini, metode praktis untuk mencapai efisien kepercayaan yang sangat tinggi dalam kebenaran dari hasil pemilu belum ada. Proses yang paling terpercaya dalam praktek saat ini adalah melalui pemilihan umum secara manual dengan pihak independen beberapa, memakan waktu dan mahal.

Pemilihan sebuah penggunaan teknologi komputer modern yang displin dapat mengakibatkan proses pemungutan suara yang sangat dapat dipercaya dan tabulasi yang sangat efisien. Pemanfaatan teknologi e-Voting sebelum ini tidak pernah ada dalam sejarah pemilihan umum skala besar seperti Indonesia tetapi dengan aplikasi yang sesuai teknologi dan desain yang cermat, termasuk pendekatan proyek manajemen yang ketat, visi program e-Voting untuk Pemilu 2014 akan tercapai.

Visi e-Voting untuk Pemilu 2014 bukan salah satu pengalihan yang mendadak atau mengikuti tren ke satu teknologi tunggal. Sebaliknya visi ini adalah salah satu program yang diprakarsai oleh Komisi Pemilihan Umum di Indonesia dan BPPT bersama dengan Departemen Dalam Negeri, di mana pemilih ditawarkan cara baru yang digunakan untuk menjamin hak suara mereka. Visi ini juga wujud dari permintaan publik untuk mendapat hasil perhitungan suara segera, tekanan dari public untuk pemilu yang berasas Lubrer Jurdil, dan kebutuhan untuk biaya yang lebih rendah mendorong Negara ke arah sistem pemungutan suara elektronik. Kelemahan didokumentasikan upaya dalam sistim yang ada dan pentingnya suara akurat memerlukan tiap stakeholders/pemangku kepentingan untuk merangkul dengan serius program visi e-Voting untuk Pemilu 2014.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary mengharapkan pemungutan suara dengan metoda menggunakan perangkat elektronik (electronic voting/e-voting) sudah dapat diterapkan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. “Untuk itu pemberlakuan pemungutan suara dengan menggunakan perangkat e-voting ini perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU,” kata Hafiz di Jakarta, Kamis (8/4/2010). Dikemukakan beliau, pada Pemilu 2014, e-voting seharusnya sudah bisa diterapkan, dan pihaknya telah meminta Biro Hukum KPU untuk mengkaji agar ada aturan dan payung hukumnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hafiz Anshary mengharapkan sistem pemungutan suara secara elektronik (e-voting) sudah dapat dilaksanakan untuk pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014. Pada acara Konferensi Forum Komisi Pemilhan Umum Asia Tenggara di Jakarta pada senin tanggal 3/10/2011 mengatakan "KPU berharap semoga sistem ini dapat dilakukan pada 2014, saat pemilihan umum presiden nanti,".

Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU No 32/2004 tentang Pemilu, memutuskan pemungutan suara dengan metoda e-voting dapat digunakan dan tidak melanggar konstitusi. MK menyatakan e-voting dapat digunakan asalkan memenuhi sejumlah persyaratan kumulatif, yakni tidak melanggar asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) serta jurdil (jujur dan adil).

Sejak tahun 2010, Bppt telah melakukan beberapa simulasi dengan beberapa principal yang bergerak dalam teknologi e-Voting. Dan juga melakukan sosialisasi melalui beberapa Dialog Nasional pada tahun 2010 di Jakarta dan di Banda Aceh. Tahun ini, terkait dengan akan diadakannya Dialog Nasional Menuju Pemanfaatan E-voting Untuk Pemilihan Umum 2014 pada tanggal 19 Mei 2010 yang diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) BPPT.

Menurut Kepala BPPT, Bapak Marzan A Iskandar, “Sebagaimana kita ketahui bersama, Mahkamah Konstitusional (MK) dalam keputusannya memperbolehkan diadakannya e-voting di Indonesia sejauh tidak melanggar asas pemilihan umum (pemilu) yaitu Luber dan Jurdil serta tersedianya fasilitas penunjang e-voting baik dari sisi teknologi maupun SDM nya”

Bppt melalui praktek penelitian dan praktek jaminan tinggi pengembangan perangkat lunak sekarang ini telah berada di tahap mana dapat membuat bukti-bukti formal yang menunjukkan implementasi yang benar dari komponen penting dalam sistem perangkat lunak. Metode formal ini telah mencapai titik penerapan praktis, membuat perangkat lunak dapat di analisisa secara formal. Meskipun hanya beberapa contoh perangkat lunak yang dapat di verifikasi secara formal. Hasil-hasil pemilu di sejumlah negara di nilai sukses. Ke suksesan pemilu-pemilu di sejumlah Negara;
  • memberikan dasar yang tak terbantahkan atas kepercayaan dalam akurasi hasil pemilu dan
  • ΓΌmemberikan demonstrasi yang jelas dari kelayakan pengembangan perangkat lunak yang sangat dapat dipercaya.

Dari Visi ke Kenyataan


Pencapaian visi ini tidak akan mudah. Mempersiapkan dasar untuk pemilihan e-Voting pertama di 2014 akan perlu untuk mengatasi berbagai masalah. Oleh karena itu perlu segera mulai sejumlah proyek uji-coba di tingkat pemilukada sekarang dianjurkan. Tujuan dari proyek-proyek uji-coba di tingkat pemilukada adalah;
  • Memahami konteks di mana e-Voting dapat berhasil untuk di perkenalkan di pemilu 2014, termasuk hambatan dan masalah yang perlu ditangani, dan
  • Mempersiapkan pondasi untuk implementasi dan mengusulkan cara-cara di mana e-Voting dapat diperkenalkan untuk pilpres dan pemilu legistratives 2014.
  • Melalui kegiatan-kegiatan proyek uji-coba, KPU dapat mendapat;
  • Kajian aktual dari proses pemilihan dan mekanisme menggunakan teknologi e-Voting (bukan hanya melalui simulasi)
  • Sebuah analisis dari berbagai macam pilihan teknologi
  • Sebuah studi tentang sikap publik dan pendapat menuju e-Voting
  • Sebuah studi tentang persepsi “stakeholder”
  • Sebuah analisis kerangka hukum/ Legal Framework dan
  • Sebuah studi dari kapasitas pemerintah berfokus pada pemilu 2014

Sebuah laporan penelitian penuh proyek pilot dan dokumen teknis yang menyertai dengan berbagai bukti yang dikumpulkan dan mengambil pandangan holistik dari isu seputar implementasi e-Voting. Dengan ini, KPU akan dapat menyusun grand design untuk e-Voting pemilu 2014.

Rekomendasi Persiapan Pondasi di 2012-2013 menuju Pemilu 2014

Pelaksanaan proyek uji-coba akan melibatkan sejumlah komponen utama yang sudah siap, seperti jaringan telekomunikasi, data center, DRC,  help desk dan fasilitas pelatihan. Komponen-komponen ini merupakan 60% dari komponen e-Voting yang di perlukan. Services ini telah siap ditawarkan oleh PT.Telkom Indonesia untuk pelaksanaan pilot proyek e-Voting. Sisa 40% dari komponen e-Voting iaitu komponen teknologi EVM dan services lain nya yang akan membutuhkan inisiasi oleh KPU dan stakeholder lainnya. Strategi implementasi perlu hati-hati mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan untuk memastikan bahwa potensi penuh e-Voting dapat diwujudkan dengan memilih mitra e-Voting teknologi yang tepat. Rekomendasi proyek-proyek uji-coba adalah ;
  1. Harus dapat melindungi fitur dasar demokrasi Indonesia harus terletak di jantung pelaksanaan. Proyek uji-coba tidak rekomendasi untuk di laksanakan pada Pilpres 2014, sampai masalah kerahasiaan, keamanan, penetrasi teknologi dan kapasitas pemilih telah cukup ditangani dari pembelajaran yang di lakukan di pilot proyek.
  2. Perlu ada nya uji-coba teknologi e-Voting yang berbeda dan proses nya harus terus terletak di jantung dari strategi implementasi.
  • Agar manfaat yang nyata dapat di demonstrasikan untuk pemilih, tiap warga perlu diaktifkan untuk memilih pada setiap TPS dalam konstituensi mereka atau otoritas lokal, sebagai langkah pertama menuju pemungutan suara fleksibilitas lengkap. Maka,di pilot proyek (Pemilukada /Walikota) direkomendasikan pemilihan mesin EVM/pemungutan suara elektronik dalam TPS dapat nge-link ke pusat register elektronik untuk setiap konstituensi atau otoritas local.
  • Rekomendasi selanjut, pada salah satu pilot proyek (pilot proyek Pemilukada Provinsi/Gubernor) harus juga implementasi e-Voting di dalam TPS yang memungkinkan warga untuk memilih dari setiap TPS di seluruh negeri bukan hanya satu yang telah ditentukan. Sentral dari proses ini adalah menunjukkan implementasi dari otoritas lokal yang aman, daftar pemilihan yang aktual dan kemampuan untuk memiliki sistem di tempat yang akan memungkinkan e-Voting untuk menghubungkan ke daftar pemilihan yang relevan, memverifikasi rincian pemilih dan rekaman yang telah memilih secara real time . Implementasi e-Voting berdasarkan prinsip pemungutan suara dari TPS akan membawa manfaat besar kepada para pemilih dalam hal fleksibilitas. Hal ini juga akan memberikan kesempatan bagi pendidikan pemilih, membangun kapasitas di kalangan pemilih tentang cara menggunakan sistem elektronik dalam pemungutan suara.
  • Untuk Pilot proyek, penerapan prinsip desentralisasi pemilihan memberikan manfaat keamanan yang signifikan serta fleksibilitas operasional ke e-Voting. Sementara beberapa sistem terpusat perlu di lakukan, seperti koneksi ke register pemilu di KPU, pengetahuan lokalisasi dan support di transfer. Hal ini sangat penting selama tahap uji coba dan implementasi, di mana pengetahuan lokal dan pengalaman akan dapat membantu untuk mengatasi masalah potensial dan  berharga di Pemilu 2014.
  • Pada waktu proyek uji-coba, perlu ada nya strategi implementasi yang mencakup pendidikan publik. Proses pendidikan ini juga perlu untuk mengelola ekspektasi publik dalam rangka untuk menekankan manfaat kepada para pemilih yang muncul dari setiap teknologi.
  • Pada proyek uji-coba, analisis risiko untuk tiap potensial sistem harus tidak hanya berkonsentrasi pada fitur teknis dari sistem tetapi juga harus mengatasi masalah kepuasan dan keyakinan publik. Upaya harus dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik dalam integritas sistem pemilu. Masyarakat harus tidak ragu bahwa e-Voting adalah aman dan bebas dari penyalahgunaan oleh pihak ketiga.

Oleh karena itu, setiap sistem selama proyek pilot harus 100% auditable yang dapat diverifikasi oleh semua pemangku kepentingan dan yang telah memenuhi persetujuan dari lembaga pemilu yang independen internasional. Dengan cara ini, kepercayaan publik serta kepercayaan publik internasional dapat dipertahankan dalam integritas pemungutan suara.

Nota penting adalah untuk kesuksesan menuju Pemilu e-Voting 2014, memerlukan pemerintah Indonesia untuk menerapkan kata-kata e-Voting dalam RUU Pemilu yang dapat memungkinkan pilot proyek teknologi e-Voting di pemilukada.

*Untuk presentasi / demonstrasi Teknologi e-Voting berasas Luber Jurdil dari Smartmatic, silahkan hubungi Julian Chong di +6287775347865