Kamis, 24 November 2011

Penyelesaian Sengketa Pemilu Kada/ MK Serahkan Sepenuhnya kepada DPR


Penulis : Rudy Polycarpus
Rabu, 23 November 2011 01:28 WIB

JAKARTA--MICOM: Pemerintah mengusulkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) dialihkan dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung. Cara itu dinilai lebih efisien sehingga pihak penggugat cukup mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Tinggi setempat.

Ketua MK Mahfud MD enggan berkomentar banyak mengenai wacana tersebut. Ia menyerahkan usulan tersebut kepada DPR. "Terserah saja, MK tidak berwenang menilai RUU. Tapi MK berwenang kalau sudah jadi UU," kata Mahfud kepada Media Indonesia, di Jakarta, Selasa (22/11).

Ia menegaskan, MA pernah berwenang mengadili sengketa pemilu kada. Namun berdasarkan kontitusi, DPR kemudian memasukkan sengketa pemilu kada sebagai wewenang MK. Saat ini, kata Mahfud, pihaknya hanya bersikap pasif menunggu hasil dari wacana pengalihan kewenangan tersebut. (OL-8)

Senin, 14 November 2011

The Pursue to Electoral Reform | Tantangan bagi sebuah Negara Demokratis


Tantangannya tetap bagi Pemerintah, Partai Politik dan masyarakat sipil untuk mengejar reformasi untuk melawan sinisme publik tentang kredibilitas satu proses pemilu.

Melihat pertumbuhan yang cepat dalam sistem demokrasi, antara tahun 1990 dan 2010 jumlah demokrasi elektoral di dunia meningkat 76-116, naik dari 41 persen menjadi 60 persen di dunia.



Selama waktu ini meskipun pandangan dikembangkan dalam komunitas internasional bahwa jumlah negara demokrasi elektoral nominal meningkat, banyak negara masih tidak mencapai reformasi demokratis yang lebih luas seperti pelebaran partisipasi politik, meningkatkan representasi, meningkatkan akuntabilitas atau menggunakan pemilu sebagai strategi manajemen perubahan yang sah politik.

Salah satu contoh adalah, demokrasi elektoral datang pada harga tinggi di banyak negara. Oleh karena sistim pemilu yang ada cenderung dapat di manupulasi kan. Setiap tahun ratusan orang kehilangan kehidupan mereka dalam kaitannya dengan pemilihan umum yang kompetitif. Kekerasan pemilu dapat menekan jumlah pemilih, mempengaruhi pendaftaran pemilih, mencegah kandidat dari berjalan untuk kantor, memarahkan divisi dalam masyarakat, atau bahkan menunda pemilihan atau mencegah dari terjadi sama sekali.

Kekerasan pasca pemilu terjadi seperti surat suara di Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir telah membawa perhatian pada tantangan membangun lingkungan yang aman yang dapat memfasilitasi pemilihan umum demokratis yang bebas dan adil. Protes jalanan di Thailand yang telah mendapatkan perhatian internasional sejak tahun 2006 kudeta yang dibuang Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, untuk pembantaian Maguindanao 2009 di Filipina yang melihat 57 orang tewas, termasuk 34 wartawan, karena mereka melaju dalam konvoi untuk mendaftarkan pencalonan untuk pemilu 2010.

Contoh-contoh ini berfungsi sebagai pengingatan bahwa agar pemilu untuk menjadi sukses dan non-kekerasan, tujuan pengembangan demokrasi harus melampaui 'acara' pemilihan. Sebaliknya, melihat pemilu sebagai ujian pembangunan demokrasi bukan tujuan itu memberikan konseptualisasi lebih baik dari proses yang diperlukan untuk memastikan bebas, pemilihan yang adil dan damai.

Untuk proses pemilihan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka butuhkan untuk bergantung pada persiapan dan keterlibatan pemangku kepentingan termasuk badan-badan manajemen pemilu, pelaku politik, lembaga pemerintah dan badan-badan keamanan, sipil dan kelompok media, dan pemasok nasional keadilan untuk memainkan peran positif dalam proses.

Penguatan kredibilitas proses pemilu dan hasil nya iaitu dari tahapan Otentikasi, Tabulasi dan Transmisi membutuhkan pengembangan transparansi dan teknis, tetapi juga reformasi politik dan hukum, partisipasi masyarakat luas publik dan sipil, dan pendidikan. Tantangannya tetap bagi Pemerintah, partai politik dan masyarakat sipil untuk mengejar reformasi untuk melawan sinisme publik tentang kredibilitas proses pemilu. Reformasi mendasar dalam sistem sangat penting untuk daerah yang beragam seperti pemakaian sistim elektronik dalam kepemiluan,, manajemen konflik, keterwakilan gender dan pengembangan sistem partai politik. Tanpa ini, akan sulit untuk menjaga integritas proses pemilihan, dan mengurangi penggunaan kekerasan dan penipuan.

Yang jelas di Asia, seperti yang terjadi di seluruh dunia tetapi tidak selalu diakui, adalah bahwa politik dan pemilu yang terkait erat bersama-sama. Demokrasi berarti politisi bergantung pada pemilih untuk kelangsungan mereka, dan pada terburuk pencekikan dari sistem pemilu mungkin berarti bentuk sistem pemilu tetap tapi secara demokratis, prinsip dan rasion d'etre ada dalam nama saja. Situasi ini diperburuk di negara-negara dimana konflik internal telah lebih termotivasi untuk mengejar stabilitas politisi dengan mengorbankan demokrasi. Jadi, untuk mengekang kekerasan pemilu, reformasi harus mengatasi politik maupun sisi teknis dan sistim pemilihan.

Harga untuk kredibilitas satu pemilu tidak dapat dihitung dari nilai rupiah. Karena kredibilitas satu pemilu akan memberi keyakinan rakyat terhadap pemerintahan mereka, akan memberi keyakinan masyarakat terhadap satu negara, akan memberi keyakinan masyarakat bisnis lokal dan internatisional terhadap kestabilan investasi mereka. Maka akan kredibilitas satu pemilu akan membawa negara maju kedepan dalam segi sosial dan ekonomi untuk negara dan bangsa.