Kamis, 08 November 2012

Pemilu dan Informasi & Komunikasi Teknologi (ICT)


Pemilu dan Informasi & Komunikasi Teknologi (ICT)

Pada saat ini, kebanyakan badan manajemen pemilihan/EMBs (badan pelaksana pemilu) di seluruh dunia menggunakan teknologi baru dengan tujuan meningkatkan proses pemilu. Teknologi tersebut berkisar dari penggunaan alat-alat otomatisasi kantor yang dasar seperti pengolah kata/word processing dan spreadsheet ke alat pengolahan data yang lebih canggih, seperti sistem manajemen data base, pemindaian optic/optical scanning dan sistem informasi geografis.

Beberapa alat ini telah tersedia cukup lama, maka kekuatan dan kelemahan mereka sudah dikenal. Namun setiap tahun, teknologi baru dan alat-alat yang tidak dikenal juga diperkenalkan ke pasar. Pada saat ini, misalnya, terdapat beberapa penggunaan sistem voting buat mengotomatisasi pencatatan dan / atau penghitungan suara. Ada sistem memverifikasi kelayakan pemilih dan otentikasi pemilih. Beberapa negara juga bereksperimen dengan voting internet sebagai cara untuk memfasilitasi suara dan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Semua upaya ini bertujuan untuk menjamin kredibilitas dari proses demokrasi dan keandalan hasil pemilu.

Sementara teknologi ini membuka batas baru dan menawarkan kemungkinan baru untuk proses pemilihan, khususnya untuk operasi suara, mungkin ada risiko tak terduga yang terlibat, seperti peningkatan penjualan suara atau kesulitan dalam hasil pemilu audit. Pertimbangan yang matang juga perlu diberikan kepada risiko pengantar yang tidak tepat atau terlalu cepat dari teknologi, terutama jika ia memiliki potensi untuk berkompromi transparansi, kepemilikan lokal atau keberlanjutan proses pemilu.

Selasa, 14 Februari 2012

Berita Terbaru | Belgia kontrak e-Voting Otomatis untuk 10 tahun dengan Smartmatic

 
BRUSSELS - (KAWAT BISNIS) - FPS Interior Belgia telah memilih Smartmatic sebagai penyedia teknologi untuk memasok-selama 10 tahun sistem-nya pemilihan inovatif otomatis, dimulai dengan pemilihan lokal yang akan berlangsung pada bulan Oktober, 2012.
Sistem pemungutan suara canggih yang diciptakan melalui peraturan Belgia dan Eropa Smartmatic dan disesuaikan secara khusus untuk mendukung, melibatkan penggunaan Machine Voting berbasis sentuhan Elektronik dengan 17-inch layar resolusi tinggi.
"Kami sangat gembira telah dipilih sebagai layanan dan penyedia teknologi untuk pemilu di Belgia, negara pelopor mengenai penggunaan suara elektronik. Seiring dengan otoritas Belgia, kami telah bekerja sangat keras untuk mengembangkan dan menawarkan negara-of-the-art baru dan lebih baik voting sistem elektronik yang sepenuhnya mematuhi semua persyaratan, menjamin pemilu yang paling aman, dapat diandalkan dan auditable. Kami merasa terhormat telah diberi tanggung jawab ini, "kata Antonio Mugica, CEO Smartmatic itu.
Memilih Smartmatic sebagai vendor telah menjadi hasil dari proses evaluasi yang sangat cermat (termasuk sertifikasi oleh PricewaterhouseCoopers) yang berlangsung selama lebih dari 3 tahun, dan peristiwa penting yang telah menjadi tes bidang publik yang diselenggarakan pada tanggal 27 Oktober 2011. Pengujian dilakukan bekerja sama dengan Pemerintah Federal Belgia, Flanders Wilayah dan Brussels-Capital dan otoritas diizinkan untuk mengevaluasi sistem dalam kondisi hidup yang nyata dan menerima umpan balik langsung dari pemilih dan pekerja polling. Menurut survei yang berbeda dilakukan selama acara tersebut, sebagian besar peserta diwujudkan persepsi yang sangat positif dari sistem dalam hal kesederhanaan dan kemudahan penggunaan.
Smartmatic telah berhasil ditempatkan teknologi suara serbaguna elektronik dalam proses pemilihan beberapa di Filipina, Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Karibia, akurat mendaftar dan menghitung lebih dari 1,5 miliar suara yang telah diaudit. Teknologi canggih telah banyak diakui oleh monitor paling penting pemilu internasional dan para pakar.
Perihal Smartmatic
Smartmatic adalah perusahaan multinasional yang desain dan menyebarkan solusi teknologi yang bertujuan untuk membantu pemerintah, sehingga mereka dapat memenuhi tanggung jawab mereka terhadap warga negara mereka dengan cara yang paling efisien. Smartmatic APAC sejak bulan Augustus 2011 menunjuk Bapak Julian Chong sebagai pewakilan Business Development Advisor  untuk mendukung pengembangan dan penerapan idustri e-Voting di Indonesia. Kami adalah salah satu penyedia seluruh dunia teknologi paling canggih, dengan track record yang panjang dan terbukti di Amerika Serikat, Asia, Afrika, Amerika Latin dan Karibia. Dengan lebih dari 400 karyawan di seluruh dunia, keuntungan kunci kompetitif Smartmatic terletak pada teknologi mutakhir dan pengalaman dalam tiga bidang utama:
1.       Kepemiluan dengan teknolgi e-Voting ,
2.       Identity Management,
3.       dan Solusi SmartCity.

Senin, 13 Februari 2012

PROSPEK PENERAPAN E-VOTING DI INDONESIA SEBAGAI PERWUJUDAN DEMOKRASI YANG MENSEJAHTERAKAN MASYARKAT

Penulis: Ali Rokhman/ Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK
Sebagai salah satu negera yang menganut paham demokrasi, Indonesia dituntut untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan adil serta memenuhi asas langsung, umum, bebas dan rahasia. Disamping memenuhi asas-asas tersebut, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), hasil suatu pemilihan umum juga dituntut untuk dapat segera diketahui hasilnya. E-Voting menjanjikan informasi hasil pemilu dapat diperoleh dengan cepat dan realtime  melalui penggunaan TIK dalam proses pengiriman dan penghitungan suara. Penerapan e-voting di Indonesia telah dimulai di Kabupaten Jembrana untuk pemilihan kepala dusun. Sedangkan untuk skala yang lebih luas yakni untuk pemilihan kepala daerah sampai pemilihan presiden, e-voting belum pernah diterapkan. Oleh karena itu paper ini membahas prospek dan tantangan e-voting jika diterapkan di Indonesia untuk skala yang lebih luas ditinjau dari berbagai aspek dan membandingkannya dengan negara-negara yang telah menerapkan e-voting baik negara maju maupun negara berkembang. Penerapan e-voting diharapkan tetap mengedepankan tujuan akhir dari demokrasi yakni kesejahteraan masyarakat.

LATAR BELAKANG
​Republik Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi sejak kelahirannya telah menyelenggarakan beberapa kali pemilihan umum (pemilu) untuk memilih angggota legislatif dan dua kali pemilihan presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan secara langsung. Berlangsungnya pemilu ini menjadi semakin sering  karena dengan ditetapkannya pemilihan kepala daerah secara langsung maka gubernur dan wakil gubernur serta bupati dan wakil bupati pun juga dipilih secara langsung melalui pemilu.  Semakin sering negara kita menyelenggarakan Pemilu bukan berarti permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu itu semakin berkurang. Karena menurut fakta yang telah dihimpun oleh Widjojanto bahwa permasalahan dalam Pemilu sangat beraneka ragam yang akhirnya banyak pihak yang membawa ke ranah hukum dan menjadi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) . Banyaknya perselisihan dalam Pemilu di antaranya disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi
(1) Banyak terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih. Permasalahan ini sangat mengemuka pada Pemilu tahun 2009 terutama pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Banyak terjadi kasus penduduk yang sudah meninggal dunia masih tercatat dalam daftar pemilih, dan sebaliknya penduduk asli yang telah berdomisili lama di suatu desa ternyata tidak tercatat dalam daftar pemilih, atau sangat mungkin seorang pemilih tercatat sebagai daftar pemilih pada lebih dari suatu Tempat Pemungutan Suara (TPS).  Permasalahan ini muncul karena karena sistem informasi kependudukan yang masih belum berjalan dengan baik. Fenomena penggunaan kartu identitas ganda juga menyebabkan banyaknya pemilih yang memiliki kartu suara lebih dari satu buah. Keadaan ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan jumlah suara sehingga dapat menjadi sarana untuk menang dalam pemilu.
(2) Ketika pemungutan suara banyak pemilih yang melakukan kesalahan dalam memberi tanda pada kertas suara akhirnya banyak kartu suara yang dinyatakan tidak sah.
(3) Proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, karena perbedaan kecepatan pelaksanaan pemungutan suara di masing-masing daerah. Hal ini ditambah dengan kondisi geografis negara kita yang heterogen sehingga dapat menghambat distribusi kartu suara.
(4) Proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara.
(5) Keterlambatan proses pengiriman hasil perhitungan suara. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya infrastruktur teknologi komunikasi di daerah. Oleh karena itu, seringkali pusat tabulasi harus menunggu data penghitungan yang dikirimkan dari daerah dalam jangka waktu yang lama. Akibat dari hal tersebut, maka pengumuman hasil pemilu akan memakan waktu yang lama.
(6) Sangat mungkin terjadi “jual beli” kertas suara demi untuk kepentingan partai tertentu yang dilakukan secara sistematis dan terselubung.
 
Berbagai permasalahan tersebut telah menurunkan kualitas dari penyelengaraan pemilu dan secara umum menurukan kualitas demokrasi. Untuk mengatasai permasalahan di atas salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan menyelenggarakan Pemilu secara online atau yang lebih dikenal dengan istilah electronic voting atau e-voting. Wacana e-voting ini telah bergulir setelah anggota DPR RI melakukan studi banding ke India yang ditindaklanjuti oleh Komisi II yang menggelar rapat kerja dengan mengundang Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak seperti biasa, raker hari itu langsung dihadiri Duta Besar RI untuk India, Andi M. Raker menghasilkan kesepakatan bahwa Komisi II, Kementerian Dalam Negeri, juga KPU, mengidamkan e-voting bisa diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang. Dan, pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012 mendatang, diusulkan sebagai salah satu arena uji cobanya. Kebetulan DKI juga sudah menerapkan KTP ber-chip, alias e-KTP —seperti di India dan Jembrana. Jauh sebelum raker itu, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary juga telah mengatakan e-voting seharusnya sudah bisa diterapkan tahun 2014. Sebab, e-voting memberikan banyak kemudahan dalam pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu, selain menghemat anggaran .

DEFINISI DAN MANFAAT E-VOTING
E-Voting adalah suatu sistem pemilihan dimana data dicatat, disimpan, dan diproses dalam bentuk informasi digital . . e-voting pada hakekatnya adalah pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan secara elektronik (digital) mulai dari proses pendaftaran pemilih, pelaksanaan pemilihan, penghitungan suara, dan pengiriman hasil suara. 
Penerapan e-voting diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang timbul dari pemilu yang diadakan secara konvensional. Riera dan Brown serta de Vuyst dan Fairchild menawarkan manfaat yang akan diperoleh dalam penerapan e-voting sebagai berikut.
1. Mempercepat penghitungan suara
2. Hasil penghitungan suara lebih akurat
3. Menghemat bahan cetakan untuk kertas suara
4. Menghemat biaya pengiriman kertas suara
5. Menyediakan akses yang lebih baik bagi kaum yang mempunyai keterbatasan fisik (cacat)
6. Menyediakan akses bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan waktu untuk mendatangi tempat pemilihan suara (TPS)
7. Kertas suara dapat dibuat ke dalam berbagai versi bahasa
8. Menyediakan akses informasi yang lebih banyak berkenaan dengan pilihan suara
9. Dapat mengendalikan pihak yang tidak berhak untuk memilih misalnya karena di bawah umur atau melebihi umur pemilih yang telah diatur.

Kemudian Gritzalis menyampaikan bahwa e-voting mempunyai prospek yang baik jika diterapkan pada suatu negara karena.
1. Kebanyakan negara percaya bahwa e-voting akan banyak dijumpai pada dekade yang akan datang
2. Pilihan-pilihan dalam e-voting dapat memuaskan pemilih karena kenyamanannya
3. E-Voting dapat memenuhi kebutuhan khusus bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik (cacat)
4. Banyak negara yang akhir-akhir ini sudah menerapkan e-voting untuk skala kecil
5. Banyak negara yang bermaksud mengganti sistem pemilihan umumnya menemui kesulitan berkenaan dengan terbatasnya pilihan-pilihan yang tersedia
6. Banyak negara yang tertarik pada sistem e-voting layar sentuh.

METODE E-VOTING
​Pelaksanaan pemilihan umum pada hakekatnya dapat dibagi menjadi dua cara yakni cara konvensional yang berbasis kertas dan e-voting yang berbasis pada teknologi online. E-voting berbasis online dapat dilaksanakan dalam beberapa metode ; BPPT dalam .
1. Sistem pemindaian optik. Sistem ini dilakukan dengan cara kertas diberikan kepada para pemilih kemudian hasilnya direkam dan dihitung secara elektronik. Metode ini harus menyediakan surat suara yang dapat dipindai dengan optik dan membutuhkan rancangan yang rumit dan biaya mahal. Di samping itu, tanda yang melewati batas kotak marka suara dapat menyebabkan kesalahan penghitungan oleh mesin pemindai. Sistem ini biasa disebut sebagai e-counting.
2. Sistem Direct Recording Electronic (DRE). Metode ini para pemilih memberikan hak suaranya melalui komputer atau layar sentuh atau panel/papan suara elektronik. Kemudian hasil pemungutan suara disimpan di dalam memori di TPS dan dapat dikirimkan baik melalui jaringan maupun offline ke pusat penghitungan suara nasional. Para pemilih masih diwajibkan untuk datang ke TPS namun data penghitungan suara sudah dapat disimpan dan diproses secara realtime dan online.
3. Internet voting. Pemilih dapat memberikan hak suaranya dari mana saja secara online melalui komputer yang terhubung dengan jaringan di mana pemungutan suara di TPS langsung direkam secara terpusat. Metode ini membutuhkan jaringan komunikasi data yang berpita lebar dan keamanan yang handal.

PRINSIP-PRINSIP DALAM PENERAPAN E-VOTING
​Supaya e-voting dapat diterapkan dengan efektif dan menghasilkan hasil penghitungan suara yang dapat diakui oleh seluruh lapisan masyarakat, di samping prinsip Luber dan Jurdil yang ada pada sistem pemilu sekarang, maka penerapan e-voting harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Eligibility and Authenticationpemilih hanya berwenang harus dapat memilih;
2. Uniquenesspemilih hanya dapat memilih satu;
3.Accuracysistem pemilu harus mencatat suara dengan benar;
4.Integrity—votes should not be able to be modified, forged, or deleted without detection;
5. Verifiability and Auditability—it should be possible to verify that all votes have been correctly accounted for in the final election tally, and there should be reliable and demonstrably authentic election records;
6. Reliability—election systems should work robustly, without loss of any votes, even in the face of numerous failures, including failures of voting machines and total loss of Internet communication;
7. Secrecy and Non-Coercibility—no one should be able to determine how any individual voted, and voters should not be able to prove how they voted (which would facilitate vote selling or coercion);
8. Flexibility—election equipment should allow for a variety of ballot question formats (e.g., write-in candidates, survey questions, multiple languages); be compatible with a variety of standard platforms and technologies; and be accessible to people with disabilities;
9. Convenience—voters should be able to cast votes quickly with minimal equipment or skills;
10. Certifiability—election systems should be testable so that election officials have confidence that they meet the necessary criteria;
11. Transparency—voters should be able to possess a general knowledge and understanding of the voting process; and
12. Cost-effectiveness. election systems should be affordable and efficient (Internet Policy Institute, 2001).
Selanjutnya Dewan Eropa yang berkedudukan di Perancis membagi aspek-aspek penting yang harus dipersiapkan sebelumnya jika akan menerapkan e-voting, yang meliputi.
1. Aspek prinsip meliputi (1) voter verfiied paper audit trail, (2) end-to-end verification, dan familiy voting.
2. Aspek umum meliputi (1) kepercayaan (2) debat publik, dan (3) aksesibilitas.
3. Aspek teknik meliputi (1) perangkat lunak berlisensi atau open source, (2) identifikasi dan autentifikasi pemilih, (3) menghilangkan keterhubungan antara kandidat dan pemilih, (4) perancangan kertas suara secara elektronik, (5) Konfirmasi pemilih, dan (6) periode pemungutan suara.
Prinsip-prinsip dan aspek-aspek di atas harus dipenuhi sebelum e-voting diterapkan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi RI pun sudah memberikan prasyarat terhadap hal ini walaupun belum serinci prinsip dan aspek di atas. Dibuktikan dengan dikabulkannya uji meteri UU Nomor 32 tahun 2004 tentang tentang Pemeritahan Daerah yang tak memungkinan e-voting untuk pilkada karena Pasal 88 hanya membolehkan mencoblos, yang diajukan oleh Bupati Jembrana, Prof Dr Drg I Gede Winasa, bersama 20 kepala dusun. MK mengabulkan e-voting dengan catatan, yaitu terpenuhinya syarat kumulatif. Yaitu, tidak melanggar lima asas pemilu: luber dan jurdil. Selain itu, daerah yang menerapkan harus siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak, serta masyaratnya siap .

PENERAPAN E-VOTING DI BEBERAPA NEGARA
​Banyak negara yang telah lama menerapkan e-voting. Namun demikian penerapan e-voting pada negera-negara tersebut berdasarkan pada strategi, tahap-tahap dan metode yang berbeda-beda. Ada negara yang menyelenggarakan e-voting secara online melalui jaringan Internet, dan ada pula negara yang penerapannya berbasis mesin pemngutan suara yang ditempatkan pada TPS.  Berikut ini adalah negara-negara yang telah menerapkan e-voting yang diambil dari Wikipedia dan Harun Husein yang dimuat dalam Republilka 30 Mei 2011.

Australia
Penggunaan e-voting pertama kali dikenal dengan nama CyberVote oleh Midac (Microprocessor Intelligent Data Acquisition and Control) pada tahun 1995 pada suatu pemungutan suara berbasis web untuk jajak pendapat (petisi) mengenai uji coba nuklir Perancis di wilayah Pasifik. Hasil petisi dikirimkan ke pemerintah Perancis melalui Syquest removable hard disk.  Oktober 2001 e-voting telah digunakan pertama kali dalam pemilihan anggota parlemen Australia. Pemilu tersebut diiikuti oleh 16.559 pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara elektronik di empat tempat pemungutan suara (TPS). Kemudian Pemerintah Negara Bagian Victoria memperkenalkan e-voting sebagai uji coba pada tahun 2006. Pada tahun 2007 para personil angkatan bersenjata Australia yang ditempatkan di Irak, Afghanistan, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon telah diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya melalui jaringan khusus departemen pertahanan sebagai bagian dari proyek kerjasama antara departemen pertahanan dengan komisi pemilu Australia. Setelah mereka menggunakan hak pilih kemudian datanya dienskripsi dan dikirimkan melalui Citrix server ke database. Sebanyak 2.012 personil terdaftar sebagai pemilih dan dari jumlah tersebut 1.511 orang berhasil menggunakan hak pilihnya.

Brazil
E-Voting di Brazil diperkenalkan pertama kali pada tahun 1996 yakni ketika dilakukan uji coba di Negara Bagian Santa Catarina. Sejak tahun 2000 semua pemilu di Brasil telah dilakukan secara elektronik. Pada tahun 2002 lebih dari 400.000 mesin e-voting telah digunakan di seluruh wilayah Brazil dan selanjutnya data hasil pemilu dihitung secara elektronik yang hasilnya dapat diketahui dengan cepat setelah pemilu selesai dalam hitungan menit.


Estonia
E-Voting di Estonia telah dimulai pada bulan Oktober 2005 pada pemilu lokal. Estonia menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemilu melalui Internet dan telah dinyatakan berhasil oleh pejabat pemilu Estonia. Sebanyak 9.317 orang telah menggunakan hak pilihnya secara online. Pada tahun 2007 Estonia dinobatkan sebagai negara yang menyelenggarakan e-voting melalui Internet secara nasional. Pemilu telah dilaksanakan selama dua hari pada 26-28 Februari dan telah berhasil menjaring 30.275 orang yang menggunakan hak pilih melalui Internet. Tahun 2009 pada pemilu lokal kotapraja telah berhasil memfasilitasi 104.415 orang yang menggunakan hak pilih melalui Internet. Hal ini berarti 9,5% dari total pemilih telah menggunakan hak pilihnya melalui Internet. Tahun 2011 pada pemilihan anggota parlemen pada tanggal 24 Februari sampai dengan 2 Maret, sebanyak 2.140.846 orang telah memilih secara online. 95% pemilih menggunakan hak pilih di dalam negeri dan sisanya memilih dari luar negeri yang tersebar di 106 negara.

Perancis
Januari 2007 Partai Union for a Popular Movement (UMP) menyelenggarakan pemilihan presiden dengan menggunakan remote e-voting dan juga melalui 750 TPS yang menyediakan layar sentuh. Pemilihan telah diikuti 230.000 suara yang mewakili hampir 70% dari daftar pemilih. Pemilu di Perancis diselenggarakan secara online melalui Internet untuk pertama kali pada tahun 2003 ketika warga negara Perancis yang berdomisili di Amerika Serikat memilih wakil mereka yang akan duduk dalam Majelis Warga Perancis di luar negeri. Lebih dari 60% pemilih menggunakan haknya melalui Internet dan bukan menggunakan pemilihan berbasis kertas.  

India
Tidak ada negara di dunia ini yang telah menggunakan e-voting untuk skala besar selain India. Karena India adalah negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia, dan karena itu penyelenggaraan e-voting di India patut mendapatkan perhatian. E-Voting diperkenalkan pertama kali pada tahun 1982 dan digunakan pada waktu uji coba untuk pemilihan Majelis Bort Parur di Negara Bagian Kerala. Namun demikian Mahkamah Agung India membatalkan hasil pemilu tersebut karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di sana. Atas dasar ini kemudian dilakukan amandemen terhadap Undang-undang Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan pemilu yang diselenggarakan melalui Electronic Voting Machine (EVMs). Pada tahun 2003 semua pemilu di negara bagian telah menggunakan EVMs. Alat ini juga telah digunakan pada pemilu nasional untuk memilih anggota parlemen India pada tahun 2004 dan 2009. Menurut data statistik yang bersumber dari media massa utama di India, lebih dari 400 juta pemilih (60% dari pemilih yang terdaftar) telah menggunakan hak mereka melalui EVMs pada pemilu tahun 2009.
Keberhasilan penerapan e-voting di India bukan semata-mata karena soal teknologi, tapi juga karena sistem pemilunya yang sederhana. India menggunakan system first past the post atau sistem distrik yang merupakan varian paling sederhana dan mudah dalam keluarga sistem mayoritas/pluralitas. Yaitu, hanya ada satu kandidat dari setiap partai di surat suara (single member distric). Jika yang diterapkan adalah sistem proporsional terbuka seperti Indonesia, di mana setiap partai mengirimkan 120 persen caleg dari total kursi yang diperebutkan di sebuah daerah pemilihan (distrik), problemnya tentulah tak sederhana. Panel elektronik atau layar sentuhnya harus dibuat luar biasa besar.

Italia
Pada tanggal 9 dan 10 April 2006 Kotamadya Cremona telah menerapkan mesin pemungutan suara pada pemilu nasional. Pilot proyek ini melibatkan tiga ribu pemilih dan empat TPS yang difasilitasi dengan sistem Nedap. Partisipasi pemilih sangat tinggi dan pilot proyek dinyatakan berhasil.

Filipina
Pada bulan Mei 2010 Pemerintah Filipina telah merencanakan untuk menyelenggarakan pemilu secara eletronik untuk pertama kali dengan menggunakan optical scan voting system. Pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar $160 juta untuk pembiayaan sistem baru. Dana ini termasuk untuk pengadaan EVMs, printer, server, genset, memoery card, baterai, dan peralatan transmisi satelit dan broadband. Penerapan e-voting secara nasional dimaksudkan untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan dalam penghitungan suara. Juga diharapkan dapat mengurangi kecurangan dan korupsi sebagaimana ditemukan pada pemilu-pemilu di Filipina yang telah diadakan sebelumnya. Pada tanggal 3 Mei 2010, Filipina telah melakukan pre-test terhadap sistem e-voting. Komisi Pemilu (Comelec) telah menemukan 76.000 dari total 82.000 mesin scan optik terdapat kegagalan dalam kartu memori. Mesin telah salah menghitung dan memberikan suara kepada kandidat lawan. Setelah dilakukan penyesuaian antara penghitungan manual dan elektronik, kartu memori kemudian diganti untuk seluruh wilayah. Akhirnya banyak pemilih yang skeptis terhadap penerapan e-voting setelah kejadian tersebut. Tanggal 10 Mei 2010 rakyat Filipina telah memilih presiden menggunakan e-voting untuk kali pertama. KPU Filipina melaporkan bahwa hanya 400 dari 82.000 mesin e-voting yang tidak berfungsi. Kebanyakan pemilih mengeluhkan panjangnya antrian dan butuh waktu lama untuk mempelajari teknologi baru.

Amerika Serikat
Menurut data Aceproject, di Amerika e-voting baru mencakup sepertiga jumlah pemilih. Pada pemilihan presiden tahun 2004, muncul kegagalan di sejumlah tempat pemungutan suara. Pemilih tidak bisa memverifikasi apakah mesin e-voting benar-benar mencatat suara seperti yang mereka maksudkan, dan petugas pemilu pun tidak mungkin melakukan penghitungan ulang. Maka timbullah kekhawatiran terhadap keamanan penggunaan mesin e-voting. Muncul pula perdebatan serius soal bagaimana menjamin integritas hasil pemilihan presiden yang digelar saat itu dimana pada 2004 pemilu presiden diikuti George W Bush dari Republik, dan John Kerry dari Demokrat. Buntut dari kasus tersebut, tercetus gagasan untuk melengkapi mesin e-voting, dengan teknologi tambahan yang memungkinkan suara yang telah diberikan diverifikasi. Bentuknya berupa struk yang keluar dari mesin e-voting sebagai bukti. Teknologi ini kemudian dikenal dengan sebutan (voter verifiable paper audit trail, VVPAT). Saat itu, sebanyak tujuh negara bagian langsung mengajukan undang-undang mengadopsi VVPAT, dan 14 negara bagian lain mengajukan legislasi yang sama. Anggota House of Representatives (DPR federal) pun akhirnya mempertimbangkan untuk mereformasi e-voting, dengan menambahkan VVPAT.
Meski demikian persoalan e-voting di Amerika bukan hanya pada mesinnya. Seperti dilaporkan Electronic Frontier Foundation (EFF), persoalan lainnya adalah pada SDM-nya yang tidak terlatih. Selain itu, lembaga ini, dalam situsnya, eff.org, menyatakan teknisi dari vendor mesin e-voting pun masih memiliki akses tak terawasi terhadap peralatan e-voting. Staf KPU lokal pun, kerap menolak audit data. Problem juga terjadi pada teknologi internet voting (remote e-voting). Teknologi ini digunakan 100 ribu orang Amerika yang berada di luar negeri (ekspatriat). Tapi, teknologi yang disebut sebagai Secure Electronic Registration and Voting Experiment (SERVE), itu, dihentikan pada tahun 2004, setelah petugas dari Departemen Pertahanan AS menemukan bahwa sistem itu tidak cukup aman untuk mentransfer suara pemilih.
Sampai saat ini, Amerika Serikat masih digolongkan sebagai negara yang bermasalah dalam penerapan e-voting. Bahkan, Penasihat Pemilu Senior International Foundation for Electoral System (IFES), Peter Erben, menyebut Amerika gagal. Negara gagal lainnya adalah Jerman, Belanda, dan Irlandia. Adapun negara-negara yang sukses menerapkan e-voting menurut Peter, antara lain India dan Brazil.
​Menurut data IFES, sampai dengan tahun 2004 lalu, dari 50 negara bagian di Amerika, 80 persen diantaranya masih menggunakan surat suara manual. Sebanyak 18 negara bagian menggunakan surat suara manual tanpa teknologi e-voting, hanya penghitungan suaranya menggunakan pemindai optik yang biasa dikategorikan e-counting. Negara bagian lainnya memadukan penggunaan surat suara manual dengan e-voting. Satu Negara bagian menggunakan surat suara manual dan punch card; 10 negara bagian menggunakan surat suara manual dan teknologi DRE plus VVPAT; empat negara bagian memadukan surat suara manual dengan teknologi DRE dengan atau tanpa VVPAT; tujuh negara bagian memadukan surat suara manual dengan teknologi DRE tanpa VVPAT. ​Yang benar-benar murni menerapkan teknlogi DRE dengan VVPAT hanya dua negara bagian, yaitu Nevada dan Utah. Sedangkan, tujuh negara bagian yang menerapkan DRE tanpa VVPAT, antara lain Lousiana, Georgia, dan South Carolina.

HAMBATAN DALAM PENERAPAN E-VOTING
Walaupun banyak negara sudah menerapkan e-voting, namun masih banyak hambatan yang harus diatasi supaya e-voting dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan produk yang sesuai pilihan rakyat, dan hasilnya dapat dipercaya oleh seluruh masyarakat. Hambatan-hambatan tersebut antara lain .
1. Difficulty of changing national election laws. Penerapan e-voting harus diiringi oleh adanya payung hukum yang mengatur dengan lengkap dan jelas mengenai penerapan e-voting dari tahap persiapan sampai pengesahan hasil pemungutan suara. Jika e-voting mau diterapkan berarti UU Pemilu yang selama ini berlaku harus ditinjau ulang. Sebagaimana diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004 dalam pasal 88 berbunyi: “Pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara”.
2. Security and reliability of electronic voting. Keamanan dan kehandalan e-voting adalah isu yang paling strategis dalam penerapan e-voting. Walaupun e-voting menawarkan kecepatan dalam penghitungan dan pendistribusian hasil penghitungan suara namun aspek kevalidan data harus dijunjung tinggi karena sangat berkaitan dengan keabsahan hasil Pemilu.
3. Equal access to Internet voting for all socioeconomic groups. Tidak semua pemilih mempunyai akses terhadap Internet jika dilakukan e-voting berbasis online karena heteroginitas dari masyarakat dan adanya kesenjangan digital. Jika e-voting dilakukan melalu DRE dimana pemilih harus datang ke TPS, kendala rendahnya literasi terhadap penggunaan teknologi informasi sangat mungkin akan menghambat pelaksanaan e-voting.
4. Difficulty of training election judges on a new system. Bukan hanya para pemilih dan penyelenggara yang harus siap terhadap e-voting, para saksi dan pengawas pun harus mempunyai IT literacy. Oleh karena itu harus diadakan pelatihan kepada para saksi dan pengawas pemilu sehingga jika timbul permasalahan dalam pelaksanaan pemilu mempunyai kompetensi untuk menyelesaikannya.
5. Political risk associated with trying a new voting system. Adanya resiko politik terhadap penerapan e-voting dan ini sangat berkait dengan keabsahan hasil pemilu. Jika pemilu gagal dilakukan maka resikonya sangat besar yang berdampak pada ketidakstabilan politik suatu negara.
6. Need for security and election experts. Penerapan e-voting membutuhan ahli keamanan teknologi informasi dan sekaligus memahami sistem pemilihan. Pada kenyataannya sangat sulit untuk merekrut banyak tenaga yang ahli dalam sekuriti teknologi informasi dan sekaligus menguasai sistem pemilu.

KESIMPULAN
​Penerapan e-voting di Indonesia harus melalui kajian yang sangat mendalam dari berbagai aspek. Seperti yang telah dipersyaratkan oleh MK bahwa dalam menerapkan e-voting harus memenuhi syarat kumulatif yakni tidak melanggar lima asas pemilu: luber dan jurdil serta harus siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak, dan masyarakat. Untuk lebih menjamin keberhasilan penerapan e-voting persyaratan MK tersebut perlu ditambah dengan prinsip-prinsip yang telah dikeluarkan oleh lembaga internasional bagi penerapan e-voting yang meliputi eligibility dan authentication, uniqueness, accuracy, integrity, verifiability and auditability, reliability secrecy dan non-coercibility, flexibility, convenience, certifiability, transparency, dan cost-effectiveness. Dari berbagai prinsip-prinsip ini, prinsip cost-effectiveness harus menjadi perhatian utama jika kita ingin mewujudkan demokrasi yang dapat mensejahterakan masyarakat. 

DAFTAR PUSTAKA
de Vuyst, B., & Fairchild, A. (2005). Experimenting with Electronic Voting Registration: the Case of Belgium. The Electronic Journal of e-Government , 2 (2), 87-90.
Europe, C. o. (2010). E-Voting Handbook. Strasbourg, France: Council of Europe Publishing.
Gritzalis, D. (2002). Secure Electronic Voting; New Trends New Threats. Athens: Dept. of Informatics Athens University of Economics & Business and Data Protection Commission of Greece.
Husein, H. (30 Mei 2011). e-Voting Mungkinkah. Jakarta: Republika.
Riera, A., & Brown, P. (2003). Bringing Confidence to Electronic Voting. Electronic Journal of e-Government , 1 (1), 14-21.
Selayang Pandang E-Voting. (2010, October 18). Retrieved July 2, 2011, from Kabupaten Jembrana: http://www.jembranakab.go.id/pengumuman/20100118selayang.pdf
VoteHere Inc. (April 2002). Network Voting Systems Standards, Public Draft 2.
Widjojanto, B. (2009). Pemilu, Problem dan Sengketa. Jakarta: Kemitraan.
Wikipedia. (2011, July 1). Retrieved July 5, 2011, from Examples of Electronic Voting: http://en.wikipedia.org/wiki/Electronic_voting_examples










Selasa, 07 Februari 2012

Mencegah Kecurangan Pemilukada

Friday, 27 January 2012 10:29 Yudi Rachman
 
Pemilihan kepala daerah secara langsung ternoda dengan banyaknya kasus kecurangan.  Mahkaman Konstitusi bahkan menemukan kecurangan-kecurangan yang bersifat sistematik dari peserta hingga penyelenggara pemilukada. Lantas apa langkah pemerintah, DPR dan KPU untuk menekan kecurangan dalam penyelenggaran pemilukada?
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum konstitusi yang sering menjadi rujukan hukum sengketa pemilukada menuding ada  kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Kecurangan itu dilakukan mulai dari peserta pemilu kepala daerah sampai ke pejabat penyelenggara pilkada. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, dari beberapa kasus kecurangan pemilukada yang dibawa ke MK, ditemukan ada sejumlah anggota panwaslu dan KPU yang terlibat dalam tindak kecurangan.
“Cara kecurangan tidak lagi melibatkan orang yang bertanding, tetapi juga lalu melibatkan aparat. Bahkan dibeberapa kasus melibakan Panwaslu sehingga ada yang dikena kode etik, sehingga saya kira di KPU juga kena tindakan kode etik kan. Karena memang KPU nya main dibeberapa tempat, tapi supaya diingat, dari empat ratus empat puluh itu ada empat puluh lima, nah yang main diantara empat puluh lima ini, tidak semuanya”
Kata Ketua MK Mahfud MD penguatan peran dan kinerja KPU perlu ditingkatkan sehingga kecurangan-kecurangan bisa ditekan. Selain itu, kepolisian  yang diberikan wewenang untuk menangani  kejahatan pemilu harus lebih cepat bergerak dalam menangani kejahatan pemilukada.
Sementara itu, Ketua  Pansus RUU Pemilu DPR Arif Wibowo  mengatakan, perlunya Undang-Undang soal hukuman pelanggaran pemilu. Kata dia, kesulitan menjatuhkan hukuman kepada pelaku yang melanggar aturan pemilukada oleh kepolisian karena kurangnya peraturan dan perundangan yang mengatur akibat masalah tersebut
“Berbicara mengenai penegakan hukum pilkada  tentu tidak saja berbicara mengenai tidak mudahnya menegakkan huku,  kurangnya hukum dan norma yang lengkap yang mendasari penegakan hukum pilkada. Tetapi kita juga penting menelusuri sejarah dari Undang-Undang yang melatarbelakangi penegakan hukum dalam pilkada yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah berikut dengan dua kali perubahannya memang masih memicu perdebatan”
Komisi Pemilihan Umum yang menjadi penyelenggara pemilu mengakui,  aturan dan perundangan yang mengatur soal pemilukada masih bertabrakan dan tidak sinkron. Akibatnya,  banyak celah yang dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan. Ketua Komisi Pemilihan Umum A. Hafiz Anshary mengatakan, KPU pusat sudah memberikan hukuman kepada anggota KPU di daerah yang terbukti melakukan ikut melakukan kecurangan.
“Ada beberapa peristiwa yang kita alami dilapangan tetapi tidak ada pengaturannya di Undang-Undang, jadi Undang-Undang itu belum mengatur secara detil terutama misalnya kalau ada perintah dari MK untuk melakukan pemungutan suara ulang, atau misalnya karena putusan MK menunda pemungutan suara konsekuensi dari penundaan itu banyak sekali bukan hanya logistik, anggaran, tapi juga soal dengan pemilih karena aturan pemilih yang berhak itu harus berusia 17 tahun, sebulan saja ditunda yang 17 tahun banyak tambahannya”
Sementara itu, pengamat Politik dari Universitas Indonesia Adrinof Chaniago mengatakan, perlu adanya seleksi yang lebih ketat terhadap penyelenggara untuk menekan kecurangan dalam proses pemilukada. Dia juga meminta agar pengawasan kinerja dilakukan lebih ketat baik dari dalam struktur lembaga maupun dari luar lembaga.
“Itu yang harus diperketat, mungkin betul-betul diperiksa, mungkin kriteria harus diubah atau disempurnakan supaya mendapatkan orang-orang yang betul-betul steril dalam jangka waktu yang lama dari aktifitas politik dan kepartaian atau ormas tertentu. Disinilah diperlukan pengawasan dari civil society, kalangan independen yang aktif dan memantau. Kadang-kadang kita tidak bisa memprotes keberadaan mereka karena mereka yang diterima itu secara prosedur formal mereka melewati semua, secara hukum mereka tidak ada yang salah. Kalau tidak dipantau aktifitasnya ya disitulah terjadi praktek-praktek penyalahgunaan kedudukan dan jabatan itu”
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Adrinof Chaniago menambahkan, Undang-Undang yang ada sekarang tidak mampu menjangkau pengawasan perbaikan kinerja KPU di daerah. Selain itu, hukuman yang ringan semakin menyuburkan praktik kecurangan dalam pemilukada

Selasa, 31 Januari 2012

Sistim pemilu Ideal untuk Bangsa Indonesia kedepan


Penulis: JANEDJRI M. GAFFAR | Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI
 
Bagi negara demokrasi modern, pemilihan umum (pemilu) merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan.

Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu,sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Di era reformasi,sistem dan penyelenggaraan pemilu telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan.
Saat ini para pembentuk UU tengah mempersiapkan UU yang akan menentukan sistem dan penyelenggaraan pemilu 2014 yang akan datang. Perbaikan sistem dan penyelenggaraan pemilu memang selalu diperlukan berkaca dari kelemahan dan kelebihan dari sistem dan penyelenggaraan pemilu yang lalu. Itu semua tentu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pemilu dan meningkatkan kualitas demokrasi. Namun, tentu perbaikan itu harus dilakukan sesuai dengan prinsip dasar dan mengarah pada nilai konstitusional.
Pilihan Sistem
Lalu,sistem pemilu apakah yang sesuai bagi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu para pembentuk UU telah mempertimbangkan dua hal pokok, yaitu ketentuan dalam konstitusi dan kondisi bangsa Indonesia. Dari sisi konstitusional, dasar utama adalah pengakuan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Lebih dari itu, sebagai konsekuensi dari prinsip pemerintahan oleh rakyat,sistem pemilu yang dipilih tidak boleh menjadi pembatas atau penghalang keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu harus mampu membangun dan menjalin ikatan tak terputuskan antara rakyat dan para wakilnya.
Dari sisi kondisi bangsa Indonesia yang perlu diperhatikan adalah keanekaragaman, baik dari sisi aliran politik, etnis, maupun agama. Selain itu terdapat keragaman karakteristik wilayah, baik ditinjau dari sisi populasi maupun sumber daya alam. Hal ini tentu juga harus menjadi perhatian untuk menentukan sistem pemilu agar semua keragaman itu terwakili dan tidak menimbulkan kecemburuan yang mengancam integrasi nasional. Secara umum diketahui ada dua sistem pemilu yang berbeda secara diametral, yaitu sistem proporsional dan sistem distrik.
Pada masa Orde Baru, sistem yang dipilih adalah proporsional murni secara nasional. Hal itu bergeser pada masa reformasi yang memilih sistem perpaduan antara proporsional dan distrik,yaitu distrik berwakil banyak. Sistem yang diterapkan saat ini sudah sesuai dengan prinsip konstitusional dan kondisi bangsa Indonesia. Sistem ini mampu menghasilkan wakilwakil yang mencerminkan keanekaragaman bangsa Indonesia serta mampu menjalin ikatan yang jelas antara para wakil dengan pemilih.
Yang perlu disempurnakan adalah penentuan cakupan wilayah daerah pemilihan dan penentuan jumlah proporsi wakil dari setiap daerah pemilihan agar semakin meningkatkan keterwakilan keberagaman masyarakat dan menguatkan ikatan antara pemilih dan para wakilnya. Ikatan dan keberlanjutan hubungan antara pemilih dan wakil juga ditentukan oleh pilihan sistem cara memilih, apakah rakyat berhak untuk memilih calon yang dikehendaki ataukah hanya memilih partai politik saja.
Dilihat dari tujuan untuk melanggengkan hubungan antara pemilih dan wakilnya, tentu saja sistem yang memungkinkan para pemilih untuk memilih calon yang lebih sesuai, apalagi penentuan calon terpilih didasarkan pada suara terbanyak. Sistem ini akan mendorong para wakil rakyat untuk selalu menjalin komunikasi dan memperhatikan suara konstituennya.Apalagi jika sistem ini dilengkapi dengan mek a n i s m e recall yang memberikan hak kepada konstituen untuk mengajukan recall, akan semakin menguatkan hubungan tersebut.
Tentu saja sistem ini memiliki kelemahan, yaitu mengurangi kendali partai atas anggotanya yang menjadi wakil rakyat dan dalam penyelenggaraan pemilu dapat memicu konflik antar calon sesama partai.
Penyempurnaan Sistem
Penyempurnaan sistem pemilu tentu terkait dengan sistem kepartaian serta sistem penyelenggaraan pemilu. Sudah disadari bahwa UUD 1945 dan realitas politik menghendaki adanya sistem multipartai sederhana. Hal itu diperlukan terutama demi stabilitas penyelenggaraan negara dan kelancaran pengambilan keputusan serta untuk mencegah kebuntuan akibat politik transaksional. Terkait dengan pemilu, penyederhanaan dilakukan melalui pemberlakuan parliamentary treshold (PT) atau electoral threshold (ET), atau keduanya.
Sebagai sistem yang didesain sebagai saringan,sistem ini memang memiliki kelemahan, yaitu kemungkinan hilangnya suara atau aspirasi pemilih yang memberikan suaranya kepada partai yang tidak lolos PT atau ET.Namun hal itu adalah konsekuensi dari pilihan sistem dan hanya akan terjadi pada saat awal pemberlakuan PT dan ET, apalagi jika PT dan ET dibarengi dengan pengetatan syarat pembentukan partai baru secara proporsional dengan PT dan ET itu sendiri. Konsolidasi dan penyempurnaan lain yang diperlukan dalam pemilu mendatang adalah masalah pelanggaran pemilu. Hal ini amat menentukan terwujud tidaknya asas luber dan jurdil dalam pemilu.
Selama ini yang dianggap sebagai pelanggaran pemilu masih cenderung bersifat formal sehingga tidak dapat menjangkau tindakantindakan yang melanggar etika dan fatsun politik. Selain itu mekanisme dan kelembagaan yang menangani pelanggaran pemilu juga belum mencukupi sehingga hanya sedikit pelanggaran yang dapat ditindak baik karena alasan pembuktian maupun rentang waktu yang diberikan. Penanganan pelanggaran ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari konsolidasi sistem pemilu jika melihat perkara- perkara perselisihan hasil pemilu yang berujung di MK.
Terlihat bahwa banyak pelanggaran pemilu—sebelum masuk ke MK—yang tidak diproses secara hukum dan tidak mendapatkan sanksi sehingga dianggap sebagai kewajaran dan pada akhirnya memengaruhi hasil pemilu. Hasil yang lahir dari proses yang penuh pelanggaran tentu telah mencederai kedaulatan rakyat dan asas pemilu yang jujur dan adil.