Selasa, 11 Oktober 2011

REGULASI E-VOTING UNTUK PEMILUKADA


OPINI

Penulis: DRA. ENDANG SULASTRI, M.SI/ ANGGOTA KPU
disampaikan dalam FORUM DISKUSI DAN SIMULASI E-VOTING KOTA BANDA ACEH








BEBERAPA CONTOH PENGHITUNGAN SUARA/ SURAT SUARA ULANG

Kab. Sintang (Kalbar)
Penghitungan suara ulang dgn rekapitulasi bdsrkn Formulir Model C1-KWK di bbrp TPS di 6 kec karena ada penebalan data hasil C1-KWK dan DA1-KWK.

Kab. Lamongan (Jatim)
Penghitungan srt suara ulang pd slrh kotak suara dgn  menerapkan srt KPU No.313/KPU/V/2010 tgl 25 Mei 2010.

Kota Surabaya (Jatim)
Penghitungan srt suara ulang pd slrh kotak suara kecuali di 6 kec. dan 2 kelurahan dgn  menerapkan srt KPU No.313/KPU/V/2010.

Kota Tomohon (Sulawesi Utara)
Penghitungan srt suara ulang pd setiap kotak suara kecuali di Kel. Wailan dgn  menerapkan srt KPU No.313/KPU/V/2010 tgl 25 Mei 2010.
 

PERMASALAHAN DALAM PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA
  • Metode pemberian suara dengan surat suara
  • Tingkat kerumitan apabila calon cukup banyak
  • Anggaran besar untuk cetak surat suara
  • Kemungkinan suara tidak sah mjd besar karena coblos tembus, salah centang atau dalam proses pencetakan ada tanda karena tinta, dst
  • Ketidaktahuan/ketidakpahaman dalam proses  penghitungan suara.
  • Human error seperti salah entry, salah jumlah, dll (kurang teliti).
  • Manipulasi suara dalam proses penghitungan/rekapitulasi.
BAGAIMANA DENGAN E-VOTING ?
* Melihat permasalahan dalam pemungutan dan penghitungan suara tersebut maka E-voting PERLU dan merupakan SUATU KEBUTUHAN
* Dalam No. 147/PUU-VII/2009 disampaikan bahwa Pasal 88 UU 32/2004 adalah konstitusional sepanjang diartikan dapat menggunakan E-Voting dengan syarat kumulatif berikut:
Tidak melanggar asas luber dan jurdil
Daerah yang menerapkan metode e-voting harus sudah siap dalam hal:
  1. Teknologi
  2. Pembiayaan
  3. Sumber daya manusia dan perangkat lunaknya
  4. Kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan

KENAPA E-VOTING BELUM JUGA DILAKSANAKAN ?
Pasca Putusan MK, masih terjadi perdebatan dalam melaksanakannya. Beberapa pihak berpendapat bahwa putusan MK harus ditindaklanjuti dengan  revisi UU  Nomor 32/2004 jo. UU No. 12/2008.

Namun, ada juga yang berpendapat  cukup dengan Peraturan KPU.

POKOK-POKOK REGULASI YANG HARUS DIATUR:
  • Kesiapan  masyarakat dan kemampuan daerah : daya dukung masyarakat ( sosialisasi dan simulasi), ketentuan anggaran, perangkat keamanan, dst
  • Ketentuan mengenai pengadaan komponen/sistem
  • Ketentuan terkait TPS : Jumlah pemilih per TPS, jumlah petugas dan pembagian kerjanya, serta pelatihan bagi petugas
  • Tatacara teknis pemberian suara untuk menjamin azas luber jurdil termasuk kemudahan penggunaan untuk pemilih dengan kebutuhan khusus.
  • Tata cara teknis proses penghitungan sampai dengan rekapitulasi hasil dan pemberian hasil hitung kepada saksi dan panwas
  • Mekanisme yang harus ditempuh dalam kondisi darurat ketika mesin tak berfungsi baik saat pungut suara maupun proses pengiriman hasil.
  • Metode verifikasi sebagai jaminan akurasi dan validitas hasil
  • Mekanisme penanganan gugatan dan pembuktiannya

REKOMENDASI
Perlu studi kelayakan untuk mengkaji secara komprehensif dengan melibatkan para ahli tidak hanya bidang IT tetapi juga ahli hukum, sosiologi, politik/kepemiluan, ormas dan LSM.
 
Perlu uji coba di beberapa Pemilukada, bisa dimulai dari proses e-countingnya.

Proses sosialisasi dan public hearing untuk membangun kepercayaan masyarakat perlu dilakukan sejak awal dan dilakukan secara massal.

Perlu dibangun sinergi agar ada kemauan dan keinginan yang sama dari seluruh stakeholder Pemilu, seperti partai politik, kelompok-kelompok pemilih, ormas, LSM, KPU, Bawaslu dan pemerintah.

Pelaksanaan e-Voting untuk Indonesia

OPINI:
Penulis: Bambang Eka Cahya Widodo / Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia

Pendahuluan

TEKNOLOGI DAN PEMILU

Kemajuan teknologi di Indonesia, terutama dalam bidang komputer dan internet, telah membuka banyak peluang dan memberi banyak keuntungan dalam dunia bisnis, pemerintahan, pendidikan, dan partisipasi warga.

Teknologi meningkatkan kecepatan manusia berkomunikasi dan bertransaksi; teknologi meningkatkan kemampuan manusia untuk mengumpulkan dan menyortir data; dan teknologi memberi lebih banyak sarana untuk berbagi informasi.

Dalam bidang politik, penggunaan internet juga sudah berkembang sedemikian maju. Sebagian dari para politisi Indonesia telah mampu memanfaatkan internet untuk menjual gagasan dan platform politik, di samping penggunaan medium konvensional. Beberapa pemerintah daerah telah terbukti berhasil memanfaatkan internet untuk meningkatkan pelayanan public dan memperpendek birokrasi.

Di tingkat civil society, keberhasilan pembebasan dua pimpinan KPK, Chandra-Bibit, dari tahanan Mabes Polri tidak lepas dari kemampuan public memanfaatkan jejaring social sebagai media perlawanan terhadap otoritarianisme state-apparatus.


Khusus dalam bidang pemilu, penggunaan perangkat elektronik juga bukan hal baru. Sejak Pemilu 1999, KPU telah menggunakan perangkat IT dalam proses penghitungan suara, meskipun tidak lepas dari berbagai masalah.

PERKEMBANGAN KEDEPAN

Saat ini, berkembang usul dan gagasan untuk menggunakan perangkat elektronik dalam pemungutan suara, atau yang sering disebut “e-voting”.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 147/PUU-VII/2009  yang membolehkan metode e-voting dengan beberapa syarat kumulatif, merupakan salah satu tonggak baru dalam sejarah pemilu di Indonesia.  Putusan MK, yang mengabulkan permohonan uji materiil Bupati Jembrana dan 20 kepala dusunnya, membuka peluang daerah-daerah yang telah memenuhi syarat untuk menyelenggarakan pemilu dengan menggunakan e-voting.
Namun sayang, Kabupaten Jembrana sendiri justru belum bisa memanfaatkan peluang tersebut, karena terkendala dengan berbagai hal. Ketidaksiapan Kabupatren Jembrana ini sebenarnya dapat dikatakan merupakan refleksi umum dari hampir semua kabupaten/kota di Indonesia. Kabupaten Jembrana merupakan salah satu dari sedikit kabupaten/kota di Indonesia yang berhasil menjalankan otonomi daerah dari sisi peningkatan pelayanan public melalui program “Jimbrana Networking” (dikenal dengan singkatan J-Net, yakni jaringan yang mengintegrasikan Kecamatan, desa-desa, sekolah dan lain-lain se-Kabupaten Jembrana di bidang teknologi informasi/ komunikasi, dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan menuju tata pemerintahan yang baik/good governance. Jembrana juga telah menggunakan e-voting dalam beberapa pemilihan kepala dusun, selain juga telah mengadopsi penggunaan e-KTP. 


Lepas dari ketidaksiapan perangkat hukum, yang memang harus disiapkan oleh KPU Pusat, ketidaksiapan Kabupaten Jembrana tentu menarik untuk dilihat lebih lanjut dari sisi lainnya.
Dalam pokok permohonan uji materiil yang diajukan Bupati Jembrana di atas, e-voting diklaim lebih murah, lebih menjamin hak-hak konstitusional warga negara, lebih jurdil, serta lebih mempercepat proses penghitungan.

Namun di luar beberapa kelebihan tersebut, metode e-voting juga memiliki beberapa kelemahan yang lebih mendasar dari sekedar masalah teknis.

Persoalan LEGITIMASI

Dari sisi ilmu politik, kita harus berbicara lebih dahulu pada persoalan yang lebih mendasar, yakni legitimasi teknologi elektronik baru sebagai bagian dari proses dan sistem pemilu, sehingga sangat terkait dengan demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, persoalan ini hampir tidak pernah disinggung dalam mendiskusikan kelayakan atau kesiapan pelaksanaan e-voting. Sebagian besar diskusi sebatas berbicara persoalan keamanan, efisiensi, sumber daya manusia, atau perangkat hukum.

Menurut Joseph Weiler, bahwa selain legitimasi formal/legal, ada konsep “legitimasi sosial” (Weiler: 1999, h. 80).

Legitimasi sosial, menurut Weiler, mengacu pada penerimaan masyarakat luas terhadap sebuah sistem. Konsep ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh beberapa cendekiawan menjadi tiga indikator utama, yakni: 
  1. kemudahan vs kesulitan dalam penggunaan,
  2. penerimaan vs penolakan, dan 
  3. kepercayaan vs ketidakpercayaan.
Tiga indikator ini sangat membantu dalam melakukan penilaian apakah e-voting dapat diterima secara sosial atau tidak.

Persoalan “EQUALITY”

Persoalan legitimasi sosial atas e-voting terkait erat dengan persoalan berikutnya, yaitu persamaan (equality). Ketika kita mempertimbangkan untuk menggunakan metode e-voting, maka kita perlu mengkaji tentang “siapa yang sudah familiar terhadap teknologi”. Mengacu pada ucapan Van Benshoten (2000), “penting untuk dipahami bahwa di beberapa komunitas tidak bisa sekedar diadakan computer dan internet lalu dikatakan: sekarang anda sudah terkoneksi, nikmatilah.”

Berbeda dengan pemungutan suara dengan cara mencoblos atau mencontreng, teknik pemungutan suara menggunakan perangkat elektronik mensyaratkan skill tertentu, meskipun tidak harus mahir sekali. Pemilih yang tidak familiar dengan teknologi aplikasi bisa jadi akan menghadapi masalah dengan metode baru ini. Karena, pemahaman atas program dan alat-alat (seperti tombol), dan pengetahuan dasar tentang internet menjadi penting sekali. Dan kemampuan seperti ini secara umum hanya dimiliki oleh kelompok sosial yang terdidik, muda, urban, dan cukup berada. Mengacu pada masalah familiaritas terhadap teknologi (metode e-voting) ini, beberapa cendekiawan mulai berbicara mengenai kemungkinan terjadinya “digital divide”.

Konsep ini mengacu pada gagasan bahwa penggunaan teknologi baru boleh jadi akan memperparah pembilahan antar kelompok sosial yang berbeda:
  • kaya-miskin,
  • tua-muda,
  • urban-rural, dan
  • terdidik-kurang terdidik    (Norris: 2002, h. 3-7; Gibson: 2002; Borgers: 2000).
Dengan mengacu pada konsep legitimasi sosial yang telah disebutkan di bagian atas, tulisan Delwit, Kulahci dan Pilet (2005), mengenai pelaksanaan e-voting di Belgia merupakan kajian yang sangat menarik untuk dicermati.

Hasil penelitian mereka antara lain memperlihatkan bahwa semakin tua usia pemilih, semakin mereka merasa kesulitan dengan penggunaan e-voting, dan semakin tua usia pemilih, semakin mereka tidak percaya pada metode e-voting. Di sisi lain, semakin kurang terdidik, semakin mereka merasa kesulitan terhadap metode e-voting, dan semakin kurang terdidik, semakin mereka kurang percaya pada penggunaan metode e-voting.

Dalam system demokrasi, semua warga Negara memiliki hak sipil dan politik yang sama. Dalam konteks ini, di masyarakat Indonesia jelas terdapat pengelompokan sosial berbasis pada perbedaan-perbedaan di atas. Bukannya menyelesaikan masalah tersebut, karena tidak semua warga Negara familiar dengan teknologi baru, penggunaan e-voting akan semakin memperlihatkan perbedaan-perbedaan tersebut. Lebih parah lagi, metode e-voting bisa saja akan semakin menegaskan munculnya dominasi kelompok social tertentu terhadap kelompok social yang lain.

Perlu diingat, dalam konteks politik Indonesia, persoalan demografi dan geografi pemilih menjadi hal penting dan sensitif. Karena beberapa partai tertentu memiliki basis di kelompok sosial dan geografis tertentu, meskipun beberapa partai lain sudah lebih lintas batas. Karena itu, masalah ”digital divide” tersebut juga bisa menguntungkan dan merugikan partai tertentu.

PROBLEM KEAMANAN

Pendapat Moynihan : “di permukaan, terlihat mengagetkan bahwa kecurigaan terhadap teknologi baru (baca: e-voting) datang dari komunitas IT, bukan dari penyelenggara pemilu. Tetapi spesialis pengamanan komputer berdalih bahwa penyelenggara pemilu juga membuat kesalahan mendasar dalam memahami teknologi baru ini: mereka overestimate terhadap reliabilitas teknologi, berasumsi bahwa teknologi akan mengatasi masalah-masalah yang ada, dan mengabaikan potensi akibat yang tak terantisipasi dan kerentanan baru. Teknologi baru menciptakan ilusi keamanan, menghasilkan mesin yang tidak diproteksi dengan beberapa perangkat secara berlapis dan mampu pulih dari kerusakan.”

Berikut adalah berbagai kemungkinan masalah sebagai akibat dari kerumitan program dan sistem komputer/internet.
  • Pertama, dalam banyak penelitian, kemampuan mesin pemungutan suara dalam membaca kartu suara tidak sah(residual vote) masih sangat dipertanyakan.
  • Kedua, kesalahan program (programming error and tampering).
  • Ketiga, kemampuan untuk pulih dan mengatasi masalah.
  • Keempat, kesulitan untuk melakukan proses penghitungan ulang jika terjadi kesalahan, karena tidak ada formulir rekapitulasi sebagai data pembanding.
Secara umum, masalah ini disebabkan karena dalam teknologi yang rumit selalu ada kemungkinan rusak dan dapat menimbulkan masalah, yang kadang-kadang sulit untuk dibetulkan. Dan kesalahan/error pada beberapa bagian dari sistem yang kompleks akan berakibat pada kerusakan/kesalahan yang lebih luas yang tidak terantisipasi. Sumber kesalahan/kerusakan bukan hanya bersumber pada serangan dari luar (seperti hacker), tetapi dalam konteks Indonesia saat ini, bahkan bisa diakibatkan dari hal-hal sepele, seperti aliran listrik yang tidak stabil.

PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM E-VOTING

Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Bawaslu/Panwaslu berkepentingan untuk menegakkan integritas penyelenggara, penyelenggaraan dan hasil pemilu untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis; serta memastikan terselenggaranya Pemilu /pemilukada secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan berkualitas, serta dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks e-voting, beberapa hal yang harus menjadi fokus pengawasan adalah sebagai berikut:

Pertama, Bawaslu/Panwaslu harus memastikan bahwa proses sosialisasi yang dilakukan oleh KPU harus berjalan dengan tepat, karena KPU dituntut untuk melakukan dua kegiatan sosialisasi sekaligus, yakni sosialisasi pemilu (hari H, calon, dsb), serta sosialisasi metode e-voting. Untuk melakukan kegiatan sosialisasi pemilu, mungkin KPU secara umum telah berpengalaman melaksanakannya. Namun untuk sosialisasi metode e-voting, persoalannya bukan sekedar pemahaman akan metode (aspek kognitif), sebagaimana dalam sosialisasi pemilu, tetapi lebih pada aspek kemampuan pemilih untuk beradaptasi dengan teknologi/mesin (aspek psikomotorik).

Kedua, Bawaslu/Panwaslu harus memastikan bahwa logistik untuk e-voting harus terjamin kualitasnya dan keamanannya. Kualitas logistik terutama menyangkut spesifikasi, yang akan sangat berpengaruh pada aspek keamanannya. Misalnya, jika mudah retak/pecah, maka proses distribusinya menjadi lebih rumit, karena jika terjatuh dan pecah maka akan berakibat buruk pada software-nya. Sementara dari sisi keamanannya, yang harus diawasi bukan sekedar keamanan secara konvensional (seperti dari ancaman pencurian atau kebakaran), tetapi lebih pada sistem pengamanan komputer yang kebal terhadap berbagai macam virus, serangan hacker, dan sebagainya.

Ketiga, Bawaslu/Panwaslu harus memastikan bahwa pada hari pemungutan suara, kelompok rentan sebagaimana telah diuraikan di atas terpenuhi hak sipil dan politiknya. Hak untuk memberikan suara dalam pemilu merupakan salah satu perwujudan persamaan hak yang dimiliki oleh semua warga Negara, lepas dari persoalan usia, ras, pendidikan, kekayaan, dan geografisnya. Keterbatasan kemampuan tidak seharusnya menjadi kendala bagi siapapun warga Negara untuk memberikan hak suaranya.

Keempat, terkait dengan e-voting, salah satu keuntungan digunakankannya metode e-voting adalah memotong tahapan penghitungan dan rekapitulasi, yang selama ini menjadi titik lemah penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia.

Proses manual yang melibatkan data dalam jumlah besar dan juga “orang” dalam jumlah yang tidak sedikit, menimbulkan kesulitan  tersendiri dalam tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara yang berjenjang.

Dalam e-voting tantangannya justru bergeser, hasil pemungutan suara di TPS langsung ditransmisikan ke pusat tabulasi di KPU kabupaten/kota melalui teknologi komunikasi seluler.

Pada titik ini issu keamanan jaringan teknologi komunikasi seluler menjadi focus perhatian penyelenggara maupun pengawas. Hasil penghitungan di TPS harus dimiliki oleh panwas untuk bisa mengontrol proses tabulasi di KPU. 
 
Tidak adanya formulir C-1 dan kertas plano (hasil rekapitulasi) bisa diganti dengan bukti hasil penghitungan yang dikeluarkan oleh mesin penghitung di TPS, yang juga harus dimiliki oleh para saksi.

Dalam e-voting, suara yang diberikan oleh seorang pemilih akan langsung dikumpulkan di pusat tabulasi suara. Jika terjadi selisih antara suara yang masuk dengan jumlah pemilih yang menggunakan suara, karena berbagai macam alasan, maka sulit untuk dilacak di mana (TPS, desa/kelurahan, atau kecamatan) tempat terjadi kesalahan tersebut.

Kecuali setiap mesin yang digunakan di TPS mempunyai password khusus atau sandi khusus yang bisa menunjukkan dari TPS mana hasil yang mencurigakan itu diperoleh.

Teknologi memang bisa menjadi alat untuk meningkatkan pelayanan dan komunikasi, tetapi sebagaimana kata Reingold (2000), ”teknologi bukan kekuatan otonom. Kita sebagai masyarakat memiliki kekuatan untuk menentukan ke mana dan bagaimana teknologi itu akan diarahkan.”