Rabu, 25 Januari 2012

Pembahasan RUU Pemilu Mulur Sampai Maret 2012

DPR dan pemerintah sepakat untuk memperpanjang masa pembahasan sampai Maret


Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilu diperpanjang sampai Maret 2012. Diharapkan, pada Maret itu, RUU sudah bisa disahkan sehingga April sudah berjalan aturan Pemilu yang baru.
Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Arif Wibowo mengatakan, dengan pengesahan pada Maret itu, masih ada waktu selambat-lambatnya 30 hari untuk diundang-undangkan. "Bersamaan dengan April itu, KPU yang baru terbentuk," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. "Jadi nanti sisa waktu dua tahun sebelum Pemilu bisa dipersiapkan dengan baik," katanya usai rapat dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Senayan, Jakarta, Rabu 23 November 2011.
Arif mengatakan, pembahasan ini memang mulur dari target yang dibuat sebelumnya yakni 2,5 tahun sebelum Pemilu sudah ada UU baru. "Namun dua tahun (tersisa) dianggap masih layak untuk siapkan Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," katanya.
RUU ini sendiri setidaknya terbentur pada dua poin krusial yakni soal parliamentary threshold (ambang parlemen) dan besaran kursi per satu daerah pemilihan. Partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP menginginkan ambang parlemen meningkat jadi 5 persen, sementara partai-partai yang punya suara di bawah 10 persen hanya di kisaran 3 persen.

Suharso: Sistem Pemilu Perlu Disederhanakan

Sistem Pemilu kalau bisa lebih sederhana, itu akan lebih mengurangi kecurangan


Wakil Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa, menyatakan revisi Undang-undang Pemilu mesti menghasilkan sistem pemilu yang lebih sederhana dan mudah. Dengan begitu, kata mantan Menteri Perumahan itu, tingkat partisipasi rakyat bisa tinggi.
"Bagi kita yang penting bagaimana sistem Pemilu kalau bisa lebih sederhana, itu akan lebih mengurangi peluang terjadinya kecurangan," ujar Suharso usai acara diskusi di Ruang Rapat Fraksi PPP, DPR RI, Jakarta, Jumat 25 November 2011.
Selain itu, lanjut Suharso, UU Pemilu tersebut juga harus dapat menjamin tingkat keterwakilan anggota parlemen yang lebih baik. "Unsur keterwakilan itu harus dipertahankan. Jangan sampai kemudian Pemilu ini tidak melahirkan tingkat ketidakterwakilan yang tinggi. Saya tidak bicara parliamentary threshold harus berapa, kami melihat sistem mana yang menjamin keterwakilannya itu lebih tinggi, sebab kami ingin suara rakyat tidak dibuang begitu saja," kata Suharso.
Suharso menambahkan, ada kecenderungan tingkat partisipasi masyarakat untuk memberikan suara dalam pemilu juga akan terus menurun. Perlu dicermati apa yang menjadi penyebabnya sehingga bisa disiapkan langkah antisipasi agar tingkat partisipasi tersebut dapat dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan.
Sistem pemilu yang terlalu rumit, menurut Suharso, akan cenderung membuat masyarakat semakin tak percaya aspirasi politiknya akan tersalurkan. "Saya khawatirkan nanti karena pandangan-pandangan yang membuat bias pada penduduk, para pemilih, kemudian mereka menjadi apatis. Itu terjadi di negara-negara besar yang menganut demokrasi," kata Suharso.
Suharso mengharapkan situasi masyarakat yang tidak percaya lagi terhadap politik dan demokrasi tersebut jangan sampai terjadi di Indonesia. Oleh karena itu sistem pemilu yang mudah dan sederhana menjadi penting agar masyarakat dapat antusias terlibat dan mengawasi aspirasi yang disampaikannya.
"Kesadaran itu datang dari rakyat. Sehingga bagaimana sistem tersebut bisa dikontrol secara sederhana oleh pemilih, itu yang penting," kata Suharso. "Jangan sampai dibikin sulit dan rumit untuk dikontrol. Kan banyak suara yang bertambah terus tiba-tiba hilang di tengah jalan."