Selasa, 17 Januari 2012

Instabilitas Ancam Aceh

Kompas, 16 Januari 2012
Jakarta, Kompas – Instabilitas politik dan sosial, bahkan dapat berujung pada kemandekan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, kini mengancam Provinsi Aceh. Instabilitas itu terjadi setelah lebih dari lima tahun Aceh diselimutri kedamaian, bersumber pada konsflik politik terkait pemilihan umum kepala daerah yang berlarut-larut dan sisa-sisa konflik masa lalu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengakui, kekerasan yang berkembang di Aceh belakangan ini bersumber pada persolan pemilu kepala daerah (pilkada) (Kompas, 11/1). Gara-gara pilkada, elite di Aceh juga saling mengancam.

Wakil Ketua Fraksi Partai Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Abdullah Saleh mengingatkan, Partai Aceh adalah kekuatan politik yang rill di Aceh, Mereka mayoritas. Kalau Partai Aceh tidak di akomodasi dalam pilkada, dengan diberikan kesempatan untuk mendaftarkan calonnya, sama artinya membuka peluang munculnya konflik baru di Aceh. Partai Aceh adalah temoar bernaung bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Aceh. “Jangan sampai mereka kembali turun gunung sebab tak diakomodasi,” ujar Abdullah.

Sebaiknya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, yang mencalonkan diri kembali melalui jalur perseorangan, menegaskan, penundaan pelaksanaan pilkada, seperti diusulkan Partai Aceh, tidak menjamin kondisi Aceh lebih aman. “Pasangan calon kepala daerah tidak akan diam saja kalau pilkada ditunda,” ujarnya (Kompas, 12/1).

Senjata selundupan

Instabilitas di Aceh sebenarnya mulai muncul, misalnya, berbentuk penembakan terhadap pekerja asal Jawa dan perobohan menara teganagan tinggi. Di Banda Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan mengatakan, kekerasan bersenjata bakal terus berlangsung selama senjata api masih beredar di Aceh, terutama sisa konflik. Kondisi itu diperburuk dengan banyaknya pihak yang memanfaatkan situasi politik Aceh yang sedang memanas dengan melakukan provokasi melalui aksi kekerasan. “Bersama TNI, kami terus berupaya menarik senjata api itu. Razia terus dilakukan, tentu dengan cara yang tidak melukai hati masyarakat,”katanya.

Namun, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Sagoe Meuruhom Daya, Ridawan, Sabtu (14/1), menegaskan, senjata sisa konflik yang pernah dimiliki anggota GAM hampir semuanya diserahkan setelah perjanjian damai di Helsinki tahun 2005. Jika masih ada yang beredar, itu adalah senjata markas TNI dan polisi yang terbawa tsunami. Selain itu, ada senjata selundupan dari luar negeri.

M Jusuf Kalla, Wakil Presiden periode 2204-2009, yang memprakarsai perjanjian damai antara pemimpin GAM dan pemerintah pusat, mengingatkan, perdamaian di Aceh lebih tinggi derajatnya daripada aturan. Karena itu, ia berharap semua elite politik di Aceh bersabar untuk memberi kesempatan kepada mereka yang berhak jadi peserta pemilu demi kemasalahatan bersama.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam. Minggu di Banda Aceh, menilai kelambanan pemerintahan pusat berperan atas kian kompleksnya kemelut pilkada di Aceh, yang berujung pada munculnya kekerasan. Sebagai bekas daerah konflik, Aceh memerlukan penanganan khusus yang cepat dan akurat. Di pihak lain, elit politik di Aceh gagal menyelesaikan persoalan kemacetan komunikasi politik.

“itu semua harus dibayar mahal dengan keadaan saat ini. Pemerintah pusat terlalu terpaku pada proses yang normatif. Padahal, Pilkada Aceh memiliki dimensi politis dan hukum sekaligus,” katanya.

Pemerintah pusat dinilai tidak sejak awal memberikan perhatian khusus pada Pilkada Aceh. Akibatnya, persoalan membesar dan tidak terkendali. Tidak hanya instabilitas, kemandekan pun kini mengancam Aceh.

Pengajar di FISIP Universitas Malikussaleh, Lhoksemawe, Teuku Kemal Fasya, mengatakan, masalah terbesar dari kemelut di Aceh adalah ketidaktegasan pemerintah pusat. Ketidaktegasan ini dimanfaatkan kelompok yang berbuat teror. Pembiaran terhadap aksi kekerasan membuat pembonceng kian leluasa.